Kamis, 28 November 2024

Dikunjung



Sudah empat bulan saya dan keluarga tinggal di pesantren, di tengah perkebunan kopi, jauh dari keramaian. Selain terpencil, suasananya pun lebih sering sunyi. Penghuni pesantren tidak sampai 10 orang dan dalam kesehariannya punya kesibukan masing-masing. Pergi ke kota? Bisa dihitung jari. 

Maka rasanya senang sekali saat ada yang datang main ke sini. Entah itu anak-anak dari desa sebelah yang numpang main bola, atau temannya orang tua yang mampir saat jumatan sepekan sekali. Melihat wajah selain penghuni pesantren pun seperti anugerah. Haha. 

Bila diukur jarak, sebenarnya pesantren kami masih sangat terjangkau untuk dikunjungi atau sekadar ada yang mau mampir. Alamatnya di pinggir jalan raya antara 2 kabupaten besar di Bengkulu. Tapi memang yang sangat menghambat adalah akses atau jalan masuk ke pesantrennya yang buruk. Padahal tidak sampai 1KM tapi kesannya jauh. Bahkan bagi orang kebun atau pekerja yang sering bolak-balik pesantren mengakui masih kesulitan di jalan saat datang dan pulang dari sini.

Dalam hal lain, sejujurnya walau saya lahir di Curup yang berjarak kurang lebih 30 menit dari pesantren --masih di satu kabupaten yang sama, tapi saya tidak punya banyak teman di sini. Mungkin tidak sampai 20 nama yang bisa saya sebutkan, dan di antaranya tidak sampai 5 orang yang masih bertegur sapa, dan entah kapan pula terakhir kami berkomunikasi. 

Teman yang saya punya lebih banyak di luar Curup, umumnya teman-teman saat mondok di Sumatera Selatan atau saat kuliah di Mesir. Persoalannya, kalau yang dari Curup saja jarang ke sini, apalagi mengharapkan teman yang jauh untuk datang, ya kan. 

Tapi Allah tahu sekali cara menghibur.
Dalam empat bulan ini ada saja teman yang datang. Mulai dari Kak Mif serta keluarga yang baru mudik dari Solo & Jogja, ada Bhagawan serta istri yang baru menikah, ada juga Mudir, Ketua Yayasan dan Diki Tim Media Pesantren tempat dulu saya mengajar sambil kuliah S2. 

Kunjungan Ponpes Abdurrahman Al-Fatih Bengkulu
Yang terbaru, 2 pekan lalu. Yang ini beneran terasa seperti "durian runtuh", sih. Dapat kabar kakak kelas & teman-teman di Mesir dulu yang sekarang mengajar di pesantren di Sumatera Selatan mau mampir. Saya dan istri excited! Ada Kak Aidil, Mbak Mif, Adi, Buk Fafa serta Alfa dan Umi Maska, bersama rombongan Asatiz bidang Tahfiz Ponpes Assalam, Muba

Kemudian Kamis lalu (21/11/2024) mereka jadi rihlah ke Kota Bengkulu. Tentu saja destinasi utamanya adalah pantai. Tapi karena lokasi pesantren kami tidak terlalu jauh dari jalan yang akan dilintasi, mereka pun sekalian bikin agenda berkunjung ke sini selepas dari Kota Bengkulu dan menginap semalam. 

Saat kabar ini saya sampaikan ke orang tua, malah mereka yang tampak lebih antusias menyambut. Segala perlengkapan menginap sat-set disiapkan, termasuk bahan masakan yang mungkin diperlukan, dikirim semua-muanya dari Curup.

Tapi sebelum itu ada hal lain yang selalu kami perbincangkan: tentang jalan. Ada kekhawatiran mini bus yang dipakai rombongan tidak bisa melintas masuk. Beberapa skenario pun coba kami simulasikan, secara ada 2 jalur yang bisa jadi jalan masuk/keluar pesantren, namun dengan plus-minus nya masing-masing. 

1. Jalan masuk dari pinggir jalan raya Curup-Lebong adalah jalan utama yang biasa kami lalui karena jaraknya yang dekat. Namun lintasannya curam dengan 3 tanjakan beserta batu-batu kerikil yang menyulitkan.

2. Jalan satunya lagi, perlu memutar. Selisih 10 menit dari jalan utama. Jalurnya lebih datar tapi ada 1 tanjakan yang mengkhawatirkan karena di tengah antara turunan dan tanjakannya sering menggenang air dan sering bikin ban mobil meleng seketika. 

Hingga tiba sore di hari H...
"Bismillah, lewat jalan utama saja," ayah saya memutuskan. Dan syukurlah itu keputusan yang tepat. Rombongan berhasil sampai dengan aman, walau kata para penumpang jantungnya sempat dag-dig-dug-ser~

Di tengah hujan rintik-rintik yang turun perlahan sejak maghrib, keluar dari jendela pintu mobil wajah-wajah yang sudah lama tidak terlihat. Aneh sebenarnya, padahal sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu tapi saat bertemu lagi terasa seperti biasa saja. Seperti tidak pernah berpisah. Seperti biasa saat kami di Mesir dulu kalau ada acara dan berkumpul di Sekretariat. Jadi bawaannya biasa saja meski sebelumnya antusias menanti. Kalau sudah begitu dekat apa memang begini ya responnya. 

Selepas makan malam, satu-persatu lampu di pesantren dimatikan. Dalam sekejap pun semua terlelap. Hingga malam itu yang tersisa hanya paduan suara jangkrik, kodok dan ngorok yang bersahut-sahutan. Haha. Nampaknya memang lelah sekali dari perjalanan yang panjang. 

Besok paginya, sudah full charged. Selepas dari baca Al-Kahfi di masjid bersama para santri, saya mengajak Ust. Dimas dan Adi minum kopi sambil mengobrol di depan rumah. Kak Aidil tidak nimbrung dan lebih memilih ngobrol bersama santri di depan asramanya. Ternyata sedang memberi wejangan dan memotivasi mereka karena kemarin sempat baca postingan sebelum ini tentang mereka yang lagi proses adaptasi. Sungguh bapakable sekaliYang lain ada yang main tenis meja, berkeliling pesantren, melihat kebun, bantu masak di dapur, dll. 

Sayangnya suasana ramai ini cuma sebentar. Pukul 9 pagi sudah harus berpamitan, berpoto, berpelukan, then say hi. Cepat sekaliiii. 

Sebelum beranjak dan gas diinjak, banyak dari rombongan yang mengatakan mau mampir lagi kapan-kapan. Tentu saja kami senang dan menawarkan. Kalau mau, coba datang di awal tahun depan antara Februari-Maret saat musim durian. Biasanya di Curup kalau sudah musimnya, di mana-mana di pinggir jalan area pasar dan tempat yang ramai dilewati kendaraan pasti ada yang jualan durian. Awal tahun lalu bahkan Umi Maska dan rombongan bawa pulang banyak durian dan 20kg tempoyak. 

Jadi kalau sekarang kami yang serasa mendapat "durian runtuh" karena dikunjungi, mudah-mudahan tahun depan ada lagi yang datang berkunjung di saat musim panen durian beneran. 

Oh iya, mereka pamit pagi hari karena sudah punya rencana untuk mampir dulu di destinasi wisata lainnya di Curup sebelum bertolak pulang. Saya pun merekomendasikan beberapa opsi, termasuk yang biasa jadi pilihan utama orang-orang yang jalan-jalan ke Curup yaitu ke pemandian air panas & air terjun Suban, dan sebelumnya juga ada Tebing Suban. Dua-duanya recommended untuk dikunjungi! Di dekat Suban juga ada rumah makan yang nyaman dan enak, Lesehan Pancur. Yah, walau agak pricey tapi worth it

Terakhir, kami dapat cerita dari oom yang jaga pondok saat menemani rombongan pulang lewat jalan yang satunya. Ternyata walau sudah berhasil lolos dari rintangan genangan air, tapi mereka terjebak di tanjakannya selama setengah jam. Haha. Mohon maaf, lah, ya. Mudah-mudahan tidak jadi trauma. 

Mohon doakan semoga di kunjungan berikutnya akses jalan keluar-masuk pesantren sudah bagus dan tidak perlu berpikir keras lagi bagi yang mau mampir. Aamiin. 

Galeri lainnya:

Rabu, 30 Oktober 2024

Santri Beradaptasi

"AKU BETAH DI PONDOK, TAPI AKU GA SUKA DIMARAH-MARAH!" Teriak seorang santri di depan saya. Mak Deg.

"Oke. Ustaz dengar apa yang kamu omongin. Ga perlu teriak-teriak." Saya coba membuat santri itu bicara lebih tenang karena hari sudah malam dan sunyi, tidak enak kalau dikira ada apa oleh tetangga pesantren. 

***

18 Agustus 2024 lalu akhirnya pesantren yang saya dan keluarga kelola mulai kedatangan santri, satu orang. Alhamdulillah. Sebagai pesantren baru kemarin sore yang berlokasi di tengah kebun kopi dan hutan, promosi pendaftarannya pun mendadak dan cuma dua bulan, ada satu anak yang menjadi santri ini sudah patut disyukuri. Walau, ya, di luar ekspektasi.

Sebenarnya ada 3 calon santri lainnya. Dua di antara mereka bahkan sudah bertemu saya langsung. Yang pertama sudah menunjukkan minat, tapi sepulang dari bertemu malah lost contact. Kabar Terakhir katanya pindah ke Jawa. Yang kedua melalui pendaftaran online, saat kita beri informasi terkait tanggal masuk pesantren di grup pendaftar, tapi no respond. Akhirnya menghubungi via japri dan ternyata kata walinya sudah dimasukkan ke pesantren yang lain. Yang ketiga bahkan sudah langsung datang melihat lokasi pesantren. Ayahnya setuju, tapi anaknya tidak minat. Begitulah~

Satu santri ini berusia 13 tahun, masuk sebagai murid 1 SMP. Program di pesantren kami memang cuma menerima anak laki-laki untuk jenjang pendidikan SMP/SMA.

Cerita orang tuanya, dia sudah dimasukkan pesantren sejak kelas 3 SD. Jadi sudah terbiasa mondok, tapi pindah-pindah. Terakhir itu dia kabur dan dua bulan kemudian keenakan menganggur (tidak belajar) hanya berdiam di rumahnya di ladang. Mereka dapat info pesantren kami melalui teman ayah saya yang saya juga kenal sejak kecil dulu. Sebagai orang tua yang memikirkan masa depan anaknya, akhirnya si anak dipaksa ditawarkan masuk pesantren lagi. So, here he is

Kami lanjut mengobrol sedikit tentang latar belakang keluarga santri. Berawal dari melihat isi data formulir pendaftaran santri yang tidak cocok dengan lampiran KTP orang tuanya, saya jadi sadar bahwa si ibu yang datang mendaftarkan si santri adalah ibu sambungnya, alias istri baru bapaknya. Ibu kandungnya sudah pergi dan membawa adiknya. Walau niat awal cuma ingin memvalidasi data, tapi jadi sedikit menyesal karena saya menanyakan hal yang berkemungkinan menyinggung. Tapi ternyata ada hikmahnya juga.

Dari percakapan itu saya pun mengetahui bahwa si ibu punya anak kandung sendiri yang dititipkan dengan budenya di Lampung. Sudah dua tahun dia di sana, dan rencana si ibu ingin diajak ke tempat bapaknya yang baru. Anaknya setuju untuk pindah sekolah tapi tidak mau belajar kalau bukan di pesantren. Saya berpikir, kenapa tidak sekalian saja ikut masuk pesantren sini. Biar santri yang sudah masuk tidak sepi sendirian. "Boleh, Pak Ustaz?" Ibunya antusias. Saya sih senang. Memang niat awalnya mau menerima 10-15 santri. Tapi masalahnya adalah anak itu masih SD.

"SD kelas berapa, bu?"
"Lima, Pak Ustaz."
Saya berpikir lagi.

Yang saya renungkan pertama adalah bagaimana menyeimbangkan materi pelajaran anak kelas 1 SMP dengan 5 SD, karena gurunya baru saya sendiri. Kalau materi disamakan takutnya ada ketimpangan pemahaman pelajaran, tapi kalau dibedakan kok ya ribet.

Setelah berpikir sebentar lagi, akhirnya saya menyanggupi. Toh, cuma selisih dua tahun juga. Insyaallah masih bisalah disamakan saja materi belajarnya. Meskipun di balik pertimbangan itu saya masih memiliki kekhawatiran yang lain. Singkat cerita, santri angkatan pertama kami akhirnya berjumlah dua orang. Kakak beradik beda ibu, yang belum bertemu sama sekali sebelumnya. Si adik pun menyusul 3 pekan kemudian setelah dijemput dari Lampung. 

Saya sempat memprediksi akan ada awkward moment antara mereka berdua karena baru ini bertemu satu sama lain. Ternyata justru tampak akrab, langsung main dan ketawa bareng, dll. Rasanya sedikit lega. 

Sebulan dari situ, tepatnya pekan lalu, di tengah siang si adik sakit. Mengeluh pusing. Sorenya saya langsung inisiatif ngerokin. Siapa tau masuk angin, karena memang cuaca beberapa hari ini lumayan dingin. Malamnya juga saya memberikan freshcare dan obat pusing yang tersedia di kotak P3K.

Besok paginya tampak baikan. Tapi siangnya mengeluh lagi, sakit perut. Saya himbau untuk oleskan freshcare di tempat yang sakit. Sore sempat baikan lagi, tapi malam sakit lagi. Begini terus, siklus berulang antara sudah enakan, sakit perut, pusing lagi, dst.

Saya jadi berpikir kemungkinan dia ini bukan sakit fisik, tapi "malarindu". Akhirnya saya izinkan dia untuk menelepon ibunya, karena sempat beberapa kali juga terdengar menangis di kamar. Mudah-mudahan setelah itu lebih enakan. Seusai menelepon, katanya ibunya akan datang menjenguk besok, hari Jumat. Saya izinkan. 

Besoknya seharian dia mondar-mandir, sesekali kalau sudah capek dia memilih duduk di teras asrama. Kelihatan sekali menunggu ibunya datang. Tapi sampai sore masih belum terlihat tanda-tanda. Ditambah lagi sore itu hujan turun tipis-tipis. Saya menduga kuat bahwa orangtuanya tidak jadi datang. Dan seperti yang diduga juga, dia menangis. Air matanya bahkan lebih deras dari hujan. Pasti lah sangat kecewa. 
Lalu besoknya saya dapat kabar kalau orang tua mereka baru bisa mengunjungi hari Senin.

Malam sabtu itu seusai kegiatan di masjid ba'da Isya, saya langsung pulang, mengunci pintu rumah, dll. Bersiap istirahat. Baru saja mau merebahkan badan, terdengar suara gaduh di depan rumah. Seperti suara jerit tangisan? Spontan saya buka lagi semua yang sudah terkunci tadi untuk mengecek apa yang sedang terjadi.

Terlihat si adik ditemani Oom penjaga pondok datang dari area gerbang. Suara tangisan terdengar dari sana. Saya pun mendekat untuk mengonfirmasi.
"Kenapa, Om?"
"Ini mau kabur, taz!" Astaga.
Si adik masih menjerit menangis. Mungkin menyesali kenapa sampai tertangkap? Lalu dari belakang menyusul abangnya membawa pakaian si adik yang berserak dari gerbang pesantren. Mukanya tampak marah, kecewa karena tindakan si adik. Biar lebih nyaman untuk diajak mengobrol, saya ajak mereka untuk duduk dulu di teras asramanya. 

"Jadi, ada apa ini. Kenapa kamu mau kabur?" Kepala saya dipenuhi keheranan dan... tidak habis pikir, apa yang sebenarnya ia pikirkan saat mau kabur. Apa dia tidak menyadari bahwa pesantren ini ada di tengah hutan? Jalanannya terjal, pun cuma ada 1 tiang listrik dengan lampu bertenaga surya di tanjakan. Sisanya benar-benar gelap. Belum lagi ada banyak anjing dari pondokan-pondokan tempat orang menunggu kebun kopinya. Bagaimana kalau nanti dia diserang anjing karena dikira mau maling kopi? Saya gemes, tapi berusaha menanggapi ini dengan lebih tenang.

Saya lanjut menanyakan apakah dia tidak betah di pesantren? Padahal katanya yang maksa mau mondok adalah dia sendiri. Dia hanya menangis, tidak menjawab. Makin gemes. Saya pun mulai ganti cara pendekatan dengan menyeramahinya sekaligus bercerita, flashback ke masa dulu saat saya pernah merasa tidak betah mondok dan memberinya solusi baik yang pernah saya lakukan. Tapi sepanjang ceramah itu terlihat dia lebih banyak tidak mendengar dan masih terus-terusan menangis. Bak gledek, tiba-tiba dia memotong kalimat saya yang belum tampak ada titiknya sambil berteriak, "AKU BETAH DI PONDOK, TAPI AKU GA SUKA DIMARAH-MARAH! HUHUHU..." Saya terdiam. Teriakannya seolah sudah dari tadi ingin dia keluarkan untuk mematahkan kesotoyan saya yang menyangka dia tidak betah. 

Saya tarik nafas sebentar. Sebenarnya jengkel dibentak anak kecil seperti itu, karena perasaan dari tadi saya bicaranya baik-baik dan tidak sedang memarahi dan menggunakan nada tinggi. Setelah saya sendiri tenang, saya coba juga menenangkannya sambil memberi pemahaman.

"Memang siapa yang marahin kamu? Seingat ustaz, selama sebulan di sini kamu ga pernah ustaz marahin. Kalau salah pasti diingatkan baik-baik. Betul, kan?" Saya ingin mengonfirmasi lagi, khawatir ini salah paham dengan saya.

"ABANG ITU MARAH-MARAHIN AKU TERUS!" Dia masih jawab dengan berteriak. Hadeh.
"Marahin gimana, memang?" Saya lanjut memastikan.
"AKU SALAH DIKIT LANGSUNG DIMARAHIN! KEPALAKU DARI KEMARIN PUSING KARENA DIA DORONG! HUHUHU..."
Saya spontan lihat ke abangnya. Mencoba bertabayun.
"Cuma diginiin aja, Taz." Abangnya menjawab sambil mempraktekkan bagaimana cara dia me"nowel" kepala. Cuma didorong sedikit saja dengan jari. Hm.
"Tapi serius kamu sering marah-marahin dia?"
"Gimana nggak, Taz. Dia tu manja, suka caper, ngeselin." Mata si abang merah dan melihat adiknya dengan bombastic side eye, tangannya mengepal.
"Sabar," saya pula kali ini menenangkan si abang. Hahh

Ternyata sakitnya dia selama ini sakit dari dalam karena menahan hati, kesal dengan si abang yang dirasa semena-mena kepadanya. 

Setelah mendengar cerita itu saya sedikit menyesali kenapa dia pendam cerita ini sendiri. Padahal sejak awal saya sudah bonding mereka, karena saya pun sudah berniat menjadikan pesantren ini memiliki lingkungan yang nyaman, yang baik, yang kalau ada masalah bisa didiskusikan bersama dan diselesaikan melalui komunikasi. Dari situ harapannya mereka akan terbuka untuk datang bercerita, tapi sayangnya opsi curhat itu belum jadi pilihan. Saya perlu introspeksi diri lagi. Mungkin saya belum menjadi tempat yang nyaman untuk mereka mau berbagi rasa.

Pada intinya, si adik merasa tidak betah bukan karena jauh dari orang tua atau kondisi pesantren, tapi karena tingkah abangnya yang emosian. Walau memang sifat si abang seperti itu juga karena sudah kesal dengan tingkah adiknya yang dirasa manja, suka caper, dan bikin kesal. Lingkaran setan.

Saya pun perlu menengahi. 
Saya jelaskan pelan-pelan bahwa yang pasti keduanya harus mengaku salah. Masing-masing mementingkan egonya saja tanpa berkaca diri. Meski memang dua-duanya punya alasan untuk marah. Jadi saya tutup khutbah no jutsu malam itu dengan mencoba membuat mereka berbesar hati. 

Pada kenyataannya mereka berdua baru bersama satu bulan. Faktanya juga mereka berasal dari dua keluarga yang berbeda, tentu beda juga cara didikannya. Si abang terbiasa dididik keras, sejak kecil sudah dimasukkan pesantren. Si adik juga baru kini mendapat perhatian setelah sebelumnya ditinggal di Lampung, mungkin masih terbawa sifat ingin dimanja. Perlu saling memaklumi.

Saya juga menambahi bahwa di pesantren, santri bukan hanya harus beradaptasi dengan rindu atau jauhnya jarak dengan orang tua. Tapi mereka juga dituntut untuk beradaptasi dengan santri lainnya yang berasal dari daerah dan lingkungan yang berbeda. Dari latar belakang tersebut pasti akan ada menimbulkan perseteruan, kesalahpahaman, ada ketidaksukaan, dll. Santri juga harus belajar itu. Kalau sekarang mereka yang masih berdua saja sudah sulit bergaul, apalagi tahun-tahun berikutnya saat santri makin banyak, kan.

Pahami bahwa pesantren sebagai miniatur kehidupan. Masalah selama mondok pasti akan ada terus dan ada-ada saja. Ya masalah rindu rumah lah, pusing dengan pelajaran, kesal dengan peraturan, kurang uang jajan, ribut dengan teman, dan banyak lagi lainnya. Pun kehidupan di luar nanti masalah juga akan selalu ada. Berarti masalah adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, maka harus belajar menghadapi, bukan diselesaikan dengan kabur, tapi cari solusinya. Belajar dari masalah. Bla bla bla...

Yah, lumayan berbusa juga menyeramahi mereka. Si adik sudah berhenti menangis. Antara sudah menyesali perbuatannya atau sudah bosan dengar saya ceramah. Yang penting masalah ini harus tuntas segera karena saya juga sudah mengantuk. Haha. Mereka pun saya suruh masuk ke asrama lagi, istirahat.

Malam itu pun nampaknya tercatat sebagai salah satu momen yang "berkesan" di hidup saya sekarang. Seorang pengasuh dengan dua santrinya, pondok yang baru berjalan dua bulan ternyata sudah ada saja problem yang harus ditengahi. Menarik bagaimana saya nanti menghadapi puluhan atau ratusan santri di tahun mendatang. Mudah-mudahan saja bisa tetap istiqomah di jalur mendidik dengan hati yang tenang, terbuka dengan pendapat, dll, hingga bisa mengambil kebijakan yang seadil mungkin. Aamiin.

***
Oh iya, mungkin ke depan saya akan lebih sering menulis blog bertema pesantren seperti ini, untuk mencatat momen-momen penting selama mengasuh. Selain untuk menjadi kenangan juga siapa tau ada hikmah yang bisa diambil pembaca dari cerita random dari sudut pandang pengasuh pesantren pemula~

***
Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI.
Komunitas ini juga dibimbing langsung oleh Mas Agus "Magelangan" Mulyadi. Setiap pekannya selalu dapat materi baru untuk memperbaiki tulisan. Lumayan ilmu mahal tapi gratis.
Terima kasih karena komunitas ini saya jadi termotivasi lagi untuk menulis blog. Yang ingin join juga silakan DM akun IG @komunitas_lfi, adminnya ramah dan fast respond 👌

Updated:

Selain termotivasi untuk nulis lagi, iseng-iseng juga ikut kompetisinya dan dapat penghargaan dari Mas Agus sebagai tulisan pilihan. Alhamdulillah. Insyaallah semakin semangatt 🔥

Senin, 17 Juli 2023

Sentilan


Akhir 2021 saya pergi menggantikan Mudir (pimpinan) untuk memenuhi undangan seminar pelatihan terjemah Al-Qur'an, lokasinya tidak jauh dari pondok. Selama kurang lebih 3 jam di sana, saya merasa tersentil sekali dengan ujaran Ust. Fuad Rosyidi selaku pemateri saat itu. Beliau menyampaikan bahwa ada yang salah dalam sistem pembelajaran Bahasa Arab di pesantren. Para santri selama 6 tahun mondok diberikan mufradat (kosa kata) dan muhadatsah/hiwar (percakapan) yang tidak terlalu penting. Dibilang seperti itu karena beliau mengingatkan lagi apa sih tujuan santri belajar Bahasa Arab dan kenapa penerapannya agak misleading.

Teringat saat nyantri dulu kami selalu berbangga (atau nyombong?) dengan mengatakan bahwa Bahasa Arab yang dipelajari di pondok adalah bahasa No. 1 bagi seorang Muslim karena merupakan bahasa Al-Qur'an, Kalam Allah yang diturunkan sebagai mukjizat bagi Nabi Muhammad saw. Bahasa Arab pun adalah bahasa yang akan dipakai malaikat Munkar-Nankir saat bertanya di alam kubur dan juga bahasa yang akan digunakan untuk berkomunikasi di surga kelak. Kita pun tahu Bahasa Arab adalah Bahasa Islam, sehingga jika hendak menjadi seorang ulama maka perlu mempelajari banyak ilmu tentang Islam yang mana referensi dari ilmu-ilmu tersebut kebanyakan tertulis dalam Bahasa Arab. Jadi pada asalnya, tujuan santri diharuskan belajar Bahasa Arab adalah agar ia bisa memahami Al-Qur'an, As-Sunnah dan kitab-kitab penunjang lainnya dalam mempelajari Islam. Keren, ya.

Tapi pada praktiknya, selama mondok kami lebih dituntut hafal kosakata barang-barang/benda di kamar tidur seperti "apa bahasa arabnya ranjang, kasur, lemari, jendela, dsbg", dibanding hafal kosakata ayat-ayat dalam Al-Qur'an atau musthalahat berbagai fan ilmu. Isi buku Bahasa Arab yang kami pelajari pun kebanyakan dipenuhi dengan percakapan seputar bandara, kelas, asrama, dsbg. 

Saat program Tahfidz pun para santri biasa menghafal Al-Qur'an secara langsung begitu saja --yang penting target setor hafalannya tercapai. Pada akhirnya, santri memang memiliki hafalan yang banyak, tapi ketika ditanya apa makna ayat yang ia hafal, tidak bisa menjawab. 
Lalu di mana letak pentingnya santri pintar bahasa arab, kalau Al-Qur'an sebagai pedoman utama seorang Muslim saja dia tidak tau? Inilah pertanyaan sekaligus pernyataan dari Ust. Fuad Rosyidi yang menyentil saya. 

Pulang dari seminar itu pun saya mencoba berbicara dengan Mudir dan meminta agar semester depan para santri bukan hanya sekedar menghafal Al-Qur'an saja tapi juga harus tau makna ayatnya. Alhamdulillah program terjemah ini sudah berjalan sejak tahun lalu, walau sebagai permulaan baru dicoba kepada para santri kelas akhir. Mereka diberi tambahan mata pelajaran "metode mudah cara terjemah Al-Qur'an". Mapel inipun rencananya pada semester depan juga akan dicoba kepada santri kelas 1 & 2.
pelatihan terjemah Al-Qur'an
Pertengahan 2023 ini saya pun tersentil lagi. Saat kini santri sedang liburan, beberapa guru berangkat bersama Mudir untuk tur studi ke beberapa pondok pesantren di Jawa. Salah satunya adalah ke Ponpes Mabda Islam di Sukabumi, Jawa Barat. Ponpes ini terkenal dengan agro wisatanya; ada pepohonan pinus, tempat latihan berkuda, memanah, juga ada pabrik tahu, mini zoo, peternakan, dll. Tempat yang cocok untuk belajar sekaligus jalan-jalan. Walau begitu, ekspektasi saya tidak terlalu tinggi saat ke sana, karena ponpes saya pun memiliki visi yang mirip melalui slogan "green campus"nya dalam bidang pariwisata.

Sejak memasuki gerbang Mabda Islam, kami disambut dengan ramah oleh Ust. Hudas selaku Humas pesantren, diajak keliling hingga diantar langsung ke penginapan yang terletak di tengah hutan pinus. Para santri yang sedang berkegiatan terlihat rapi dan sopan, tata letak pondoknya pun nampak sangat tersusun dan terencana. Masyaallah. Melihat hal itu menghilangkan kesan saya yang biasanya kalau main ke pesantren-pesantren lain suka melihat ketidakberaturan, seperti santri yang berlalu-lalang tanpa ekspresi melewati kita yang lebih tua (kalau dengan ustadznya sih bisa sampai nunduk, tapi kalau dengan orang yang tidak dikenal suka main lewat saja), ada juga santri yang terlihat semrawut dan tidak bersahabat, dsbg. Walau tentulah saya agak terkesan buru-buru men-judge itu karena cuma main sebentar dan belum melihat lebih jauh, tapi setidaknya di Mabda Islam saya mendapatkan kesan pertama yang baik. Sangat menyenangkan melihat para santri di sana yang cekatan dalam membantu atau ketika disuruh ustadznya langsung bergerak. Bahkan yang menemani dan mengajari kami saat berkuda dan memanah adalah santri. Mereka masih kecil tapi tampak pede dan mandiri. Saya terpana.
di depan gerbang Agro Park
Sore hari itu, kami akhirnya bisa berjumpa langsung dengan pimpinan pesantren yaitu Abi Sandi Nopiandi. Beliau terlihat muda sesuai usianya yang baru 33 tahun. Obrolan dibuka di atas hamparan tikar bernuansa alam karena memang kami bercengkrama di antara pepohonan pinus yang menjulang tinggi. Udara sedang sejuk-sejuknya. Obrolan kecil dibuka, lalu dimulai dengan prakata dari Mudir kami selaku tamu yang berkunjung, selanjutnya giliran kami meminta Abi Sandi untuk menyampaikan sepatah/dua patah kata nasihat.

Sama dengan tadi, saya sebenarnya tidak terlalu mengharapkan akan mendapat penyampaian apa-apa selain mungkin akan ada 1 atau 2 hal yang bisa kami pelajari dan bawa pulang; seperti perbedaan sistem pembelajaran, dll. Yah, sebagaimana biasa obrolan studi bandinglah. Tapi saya ternyata salah besar. Saya salah mengira bahwa pimpinan pesantren yang masih muda sudah pasti kalah jauh ilmunya dibanding dengan kyai-kyai lain yang sudah berumur dan terasa berwibawa. Kenyataannya walau Abi Sandi berbicara dan menggunakan subjek "al-faqir" --sebagai bentuk merendahkan diri, semakin panjang beliau berbicara malah semakin saya terpesona dengan apa yang disampaikan.

Konteksnya memang kami sebagai peminta nasihat, namun ternyata beliau tidak memberi nasihat-nasihat biasa yang terkesan "mujamalah" saja, malah beliau tidak sungkan memberi nasihat yang menyentil langsung. Sebagai info, pesantren kami adalah pesantren berbasis Tahfidz yang memiliki program mencetak santri-santri penghafal Al-Qur'an. Sebagai pesantren yang masih merintis karena baru berusia 3 tahun, tentulah kami banyak berkiblat pada pesantren-pesantren lainnya yang memiliki program yang sama di bidang tahfidz. Dan beliau langsung menyinggung hal itu.

Betul bahwa beberapa lama ini sekolah/lembaga pendidikan yang memiliki program tahfidz telah menjadi tren tersendiri yang digandrungi para orang tua untuk memasukkan anaknya ke sana. Dengan dalih bahwa anak merupakan investasi akhirat, dan memiliki anak yang Hafidz Al-Qur'an adalah salah satu cara agar orang tuanya bisa masuk surga melalui "jalur undangan" karena mendapat syafa'at dari Al-Qur'an yang anaknya hafal dan pelajari. Bahkan dalam hadits riwayat Imam Hakim, orang tua juga akan mendapatkan penyematan mahkota mulia di atas kepalanya di akhirat --ini pun biasanya secara simbolis masuk dalam rangkaian seremonial acara wisuda tahfidz, wali santri akan duduk lalu disematkan mahkota kebanggan oleh wisudawan diiringi dengan isak tangis, tanda haru bahagia. Hingga ssemakin yakinlah orang tuanya bahwa keluarga mereka akan termasuk sebagai Ahlul Qur'an.

Keinginan mewujudkan anak menjadi seorang Hafidzul Qur'an pun makin ramai lagi dengan adanya program-program beasiswa bagi anak yang hafal Al-Qur'an, seperti bebas biaya SPP, saat lulus mendapat jalur khusus untuk masuk lembaga tertentu, ada juga perlombaan seperti MTQ yang berhadiah besar jika juara, bahkan disambut juga oleh stasiun TV dengan mengadakan perlombaan hafalan Al-Qur'an sejak cilik. 
Al-Qur'an pun secara tidak langsung tampak menjadi sebuah industri yang menguntungkan. Maka makin marak lah program Tahfidz di mana-mana.

Lebih jauh lagi, muncul pula standarisasi keshalihan (??) dari masyarakat terhadap orang yang hafal Al-Qur'an/ yang bergelar Al-Hafidz/ah. Padahal hafal Qur'an bukanlah patokan utama untuk menilai keshalihan seorang Muslim. Kita sendiri pun mungkin pernah melihat bahkan mengenal beberapa orang yang hafal Al-Qur'an namun ternyata sifatnya bertolak belakang dengan apa yang dihafal. Padahal idealnya orang yang hafal Qur'an itulah yang paling tau apa yang Allah inginkan melaui kalam-Nya tersebut. Idealnya.

Maka dalam penyampaian beliau, Abi sandi mengatakan bahwa pola pendidikan saat ini harus diubah dan diperbaiki. Bahwa Al-Qur'an jangan cuma sibuk dihafal terus menerus hingga lupa esensi utamanya. Yaitu Al-Qur'an selain dibaca & dihafal, lebih utama lagi ialah diamalkan & disyiarkan syariat yang terkandung di dalamnya. Hendaknya kita mencontoh para Shahabat seperti saat ayat larangan khamr turun, botol khamr yang mereka sedang pegang langsung dibuang. Pun para Shahabiyah ketika ayat tentang perintah berhijab sampai kepada mereka, mereka langsung bangkit mengambil kain tirai rumahnya lalu menjadikannya kerudung. Sebegitu cepatnya mereka bergerak dalam mengamalkan perintah Al-Qur'an walau tidak hafal seluruh penggalan ayat tersebut. Kenyataan yang terbalik pada saat ini, ketika seorang Muslimah yang sudah tau bahkan hafal ayat perintah berhijab justru berkilah "kita mah yang penting jilbab-in hati dulu". Like, what??

Begitulah fenomena saat ini, terpenting hafal dulu ayatnya, soal mengamalkan bisa nanti-nanti dan biarlah "nafsi-nafsi" saja.
bersama Abi Sandi di tengah hutan pinus
Pada intinya, di tengah kerusakan umat yang sudah stadium 4, pesantren dan wali santri saat ini jangan hanya berfokus atau menekan santrinya untuk menghafal saja. Anak-anak harus difahamkan bahwa menghafal Al-Qur'an bukan untuk mengharap ridha manusia atau untuk berbangga diri mendapat gelar Al-Hafidz/ah dan dibanggakan pondok atas hafalan sekian juznya. Tapi kita menghafal karena berharap mendapat ridha-Nya Allah swt. "Di hadapan manusia banyak hafalan, apakah di hadapan Allah juga dimuliakan?" singgung Abi Sandi.
Jangan sampai menjadi seperti kisah seorang Mujahid di medan perang yang ditolak masuk surga karena ternyata ia berjuang agar dianggap sebagai Syuhada'.

Beliau menambahi, saat beliau berkunjung ke Al-Bahjah, pesantren asuhan Buya Yahya, dalam kurikulum di sana adalah santri tidak dibebani menghafal Qur'an lagi jika sudah berusia 12 tahun. Kalau mau menghafal silakan di usia sebelumnya atau sebelum baligh, karena saat berusia 12 santri hanya akan diajarkan ilmu-ilmu syariat. Kalau mau lanjut menghafal silakan nanti saat sudah berusia 20 tahun itupun karena motivasi sendiri bukan dipaksa pesantren. Ini bertujuan agar santri lebih fokus mendalami ilmu kesyariatan yang lebih penting dibanding sekedar menghafalnya.

Beliau juga menyinggung kenapa begitu banyaknya pesantren di Indonesia namun tidak menjadi solusi dalam menyelesaikan permasalahan bangsa. Jawabannya adalah karena anak-anak belajar hanya untuk menjawab soal-soal ujian bukan menjawab persoalan kehidupan. Ada juga pertanyaan kenapa santri lulusan pesantren bisa lebih "parah/liar" dari lulusan SMA. Yaitu karena santri sering menganggap tinggal di pesantren seperti "penjara suci" dengan seabrek peraturan-peraturan di dalamnya yang ketat, hingga ketika mereka keluar pesantren menjelma menjadi harimau lapar yang siap menerkam semua yang dilarang. Pelajaran yang didapat selama di pondok pun tidak membekas, apalagi dijadikan prinsip hidupnya. Ini pun sebuah fenomena. Adanya pesantren malah bisa merusak citra Islam di masyarakat? Jangan sampai.

Selanjutnya kita diminta untuk memahami betul makna ayat ke-2 dari surat Al-Baqarah, "Kitab (Al-Qur'an) tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa." Yang menunjukkan bahwa bersifat ragu terhadap Al-Qur'an adalah tidak boleh apalagi hingga menyalahi isinya. Mungkin itulah alasan mengapa Allah meletakkan ayat ini di bagian awal Al-Qur'an. Karena kita harus menamatkan/memahami ayat itu dulu secara yakin baru bisa lanjut ke ayat-ayat berikutnya. Hingga kalau nanti bertemu dengan ayat-ayat yang terkesan "ekstrem" tidak langsung men-cap radikal, pun tidak akan pilah-pilih ayat yang dia suka saja, dsbg. Jadi sebagai guru jangan cuma berfokus dalam membenarkan tajwid bacaan santri "hei itu makhorijul hurufnya ga pas, dengungnya kurang, dll" tapi substansi ayatnya malah tidak pernah diperdalam.

Sentilan selanjutnya dari Abi Sandi tentang konsep pendidikan yang hilang di pondok pesantren saat ini, yaitu konsep pendidikan dari Allah kepada para Rasul, salah satunya berternak/menggembala. Kita tahu bahwa semua Rasul itu menggembala, dan tentu itu ada alasannya. Karena faktanya dari menggembala itu akan dilatih kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial seseorang. Maka kalau bisa coba praktikkan di pesantren. Kebanyakan pesantren saat ini sangat memanjakan para santrinya; makan tinggal datang ke dapur bawa piring, baju langsung antar saja ke laundry, buang sampah ada petugasnya, dll. Santri cuma diminta menghafallll~ saja. Pendidikan ilahiyyah-nya pun hilang. Tidak ada pendidikan kemandirian & pendidikan perjuangannya, yang mana itu malah menciptakan santri yang tidak memiliki mental seorang pejuang seperti santri zaman dulu di masa melawan penjajahan. Dengan hanya bermodal bambu runcing, santri dulu siap turun ke medan perang walau melawan para penjajah yang bersenjata api. Namun karena mentalnya sudah terbiasa susah & terlatih untuk berjuang, mereka tetap berani maju dan melawan.

Maka, kita harus membangkitkan kembali mental mujahid seperti itu di generasi saat ini. Tidak hanya berkutat dengan menghafal & duduk di kelas saja, tapi santri juga harus bangun dan berusaha untuk serba mandiri. Kita mesti meihat bagaimana pendidikan yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad saw itu sangat luar biasa. Rasulullah terlahir sebagai anak yatim, masa bayinya dititipkan untuk menyusu di desa yang jauh dari Mekkah selama bertahun-tahun, pun ketika kembali ke pangkuan Sang Ibu tak lama kemudian juga meninggalkannya hingga menjadi anak yatim piatu. Lanjut diasuh oleh Sang Kakek yang kemudian juga meninggalkannya, lalu Sang Paman yang selalu melindungi di masa awal beliau berdakwah juga meninggalkannya, pun disusul oleh Sang Istri tercinta di saat beliau masih terpukul setelah kehilangan pamannya. Bertubi-tubi kepahitan hidup Allah berikan kepada Rasul, tapi atas kuasa-Nya justru itu yang membuat beliau kuat hingga berhasil menegakkan panji Islam di muka bumi. Allahu Akbar!

Lanjut, ya.

Abi Sandi juga mengingatkan untuk selalu bersabar dalam berdakwah. Rasul selaku manusia yang sempurna; tampan, kaya, berakhlak mulia, keturunan bangsawan saja saat berdakwah tetap difitnah dan dihina, apalagi kita yang sangat faqir ini. Dan jangan pernah merasa paling baik, paling berkontribusi, paling berjasa "ah itu ada karena saya", dsbg. Karena rasa ujub, riya' merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya, yang bisa menyebabkan semua amal kita hilang tak bersisa. 
Cukup cari ridha Allah saja, maka akan terbentang berbagai solusi dari semua masalah yang dimiliki. Karena jelas ayatnya bahwa Allah akan membersamai orang yang berbuat kebaikan. Mengurusi pesantren itu kebaikan, maka tidak perlu khawatir. Kalau kita jalan dikawal KOPASSUS saja merasa aman, yakin tidak ada yang berani mengganggu, apalagi yang mengawalnya adalah Allah. Maka tak perlu gentar, Allah bersama kita yang berjuang mensyiarkan agama-Nya. Kita harus membangun mental "tak takut" dalam berdakwah. Mesti punya ghirah perjuangan seperti perkataan Buya Hamka, "Jika ghirah telah hilang dari hati, gantinya hanya satu, yaitu kain kafan 3 lapis. Sebab kehilangan ghirah sama saja dengan mati."

Jadi pesan Abi Sandi, jangan mudah menyerah. Cukup cari ridha Allah saja, maka solusi akan selalu ada. Allah yang janji. Kalau mencari ridha manusia, maka cuma pusing yang didapat. Oleh karena itu beliau bilang "kalau ada yang stress karena mengurus pesantren, jangan-jangan karena dia masih mengharap ridhonya manusia!" makjleb.
Saya pun sangat merasa tersentil. Nampaknya selama ini memang masih ada pengharapan ini-itu dari manusia, hingga masih banyak mengeluhnya jika ada permasalahan di pesantren. 
Nastaghfiruka, yaa Rabb.

Terakhir dalam tulisan ini --aslinya banyak lagi yang beliau sentil-- adalah semangat dalam membangun peradaban Islam. Jangan muluk-muluk ingin meminta lebih dari yang dipunya saat ini, baiknya buktikan dulu bahwa kita mampu. Istilah beliau "Jangan meminta otoritas, bangunlah kapasitas". Bagaimana bisa bercita punya pesantren yang besar kalau baru mengurus 100 santri saja banyak ngeluhnya. Padahal untuk membangun peradaban, yang akan kita hadapi bukan hanya anak belum baligh atau masih remaja saja. Tapi juga para orang tua, lansia dan yang beragam suku juga bahasa.

Masyaallah, luar biasa sekali sore itu mendengar nasihat-nasihat beliau. Satu persatu yang saya yakini bahwa itu benar sekarang tersisa malunya saja setelah disentil habis-habisan. Menunjukkan bahwa apa yang selama ini kami perjuangkan masih jauh sekali dibanding perjuangan orang lain. 

Saya sangat bersyukur kemarin jadi ikut pergi tur studi dan mendapatkan nasihat yang menyentil ini. Bahwa inilah yang saya cari, bukan cuma retorika saling memuji atau mencari validasi, tapi justru lebih butuh sentilan-sentilan yang ternyata lebih terpatri di hati dan memunculkan lagi semangat untuk berjuang dan berbakti. Bismillah. Allahul musta'an bagi kita semua yang selalu berjuang. 




Sabtu, 30 Januari 2021

S2: Ekspektasi & Introspeksi

 

Sebulan −bahkan dua bulan terakhir bawaannya selalu pusing. Di kuliah sebagai pelajar, sudah masuk masa-masa UAS, jadi banyak dapet deadline tugas. Di pondok selaku pengajar, juga harus nyiapin semesteran santri: buat soal-soal dari beberapa pelajaran, ngawas, koreksi sekaligus salin nilai, dan evaluasi pembagian rapor. Dituntut multitasking.

Yah, sebenernya itu hal yang biasa di keseharian orang-orang secara umum. Tapi bagi aku yang dari dulu kebiasaan nyantai sibuknya cuma overthinking yang tanpa action, jadi kapan dikasih tugas bawaannya langsung pusing.

Tapi emang beneran, aku kayak baru sekarang ngerasain "gini ya kuliah". Bukan artinya kuliah di al-Azhar mudah, oh tentu saja tidak. Kalau seandainya mudah nggak mungkin banyak mahasiswa rasib ngulang semester berkali-kali including me. Maksudku lebih ke sistem kuliahnya. Kalo di Azhar, kita masuk kelas ya kayak di pesantren dulu aja. Cara belajarnya mirip. Masuk kelas, duduk (kalo dapet kursi) trus dengerin duktur ngejelasin (paham ataupun nggak). Pas jam dars selesai, bubar balik ke rumah. Simpel. Ujian pun sama kayak di pondok, jadi nggak kaget. Ada tes tulis (tahriri) berbentuk esai dan juga ada lisannya (syafahi). Bas. Yang killer itu pelajarannya.

Nah karna aku tuh tipe orang yang lebih milih buat mager-mageran kalo nggak dipaksa/terpaksa untuk bergerak ngerjain sesuatu, jadi yaa terbawa suasana kuliah yang "gitu-gitu" aja. Padahal sebagai mahasiswa, harus kreatif ngembangin diri. Aku udah tau di Azhar jarang banget mahasiswa diminta untuk buat bahts walau ada pelajarannya, Qo'atul bahts. Tapi ntah bodohnya dulu nggak tergerak untuk ikut kajian-kajian ilmiah, yang padahal di Masisir udah banyak komunitas belajarnya. Sombong banget, kan?

Eh tapi yang udah berlalu.. ya udah lah. Sisa penyesalannya saja~ Sekarang back to the topic.

Di tulisan sebelum ini aku udah cerita kalo aku akhirnya milih untuk lanjut S2 di Bengkulu kota. Itu setelah berusaha mengikhlaskan diri, karna nggak bisa egois memaksakan kehendak. Kuliahnya udah mulai dari Oktober tahun lalu sampe sekarang, via daring (Zoom & WA). Cuma sekali aja tatap muka itupun di masjid kompleknya bapak dosen bukan di kampus.

S2 sekarang aku ambil jurusan ahwal syakhsiyah atau dimaknai dengan Hukum Keluarga Islam (HKI). Karna dulu S1 di Mesir ambil Syari'ah Islamiyah (Syariat/Hukum Islam), aku kira HKI ini jurusan yang pelajarannya mirip, hanya lebih spesifik aja ke permasalahan keluarga. Dan emang cuma jurusan HKI ini yang nampaknya masih linier secara akademik. Program studi lain adanya Manajemen Pendidikan, PAI, Hukum Tata Negara, Filsafat, dll yang nampaknya jauh berbeda dari jurusan S1 dulu.

Jadi, oke bismillah aku pilih HKI.

Namun ternyata, jeng..jeng..jeng.. HKI ini di luar ekspektasi. Aku yang ngira pelajarannya akan seputar Fiqih wa maa hawlahu. Malah ternyata fokus pelajaran utamanya jauh selain itu. Yang banyak dipelajarin dari program studi ini adalah pembahasan undang-undang Peradilan Agama. Yups, hampir tiap mata kuliah kami selalu berkutat dengan pasal-pasal dan ayat-ayat perundang-undangan. 

Fuh. Inilah pentingnya check 'n recheck sebelum menentukan pilihan, bund. Aku mikirnya cetek banget waktu itu. Cuma sekedar main tafsir dari nama prodinya tanpa cari tau lebih jauh apa yang akan dipelajarin.

Jujur, aku dari dulu emang seneng ikut nonton orang ribut-ribut di TV terkait politik dan kepemerintahan. Seru aja bawaannya. Tapi aku juga orang yang selalu skip kalo udah masuk bahasan undang-undang dsbg. Semacam alergi tersendiri gitu kalo orang udah nyebutin "Jadi, di dalam pasal sekian ayat sekian, bla..bla..". Mendadak puyeng. Dan sekarang kena karma akibat suka skip2.

Jadilah selama semester pertama ini berusaha lumayan keras lah buat memahami dunia peradilan agama di Indonesia. Namun yah gitu. Karna dasar bawaannya nggak suka, jadi sampe sekarang juga masih meraba-raba maksud dari penjelasan materi yang disampein dosen. Tugas-tugas makalah pun seolah dibikin asal jadi aja. Nulis -> persentasi -> dan saat sesi pertanyaannya, bisa nggak bisa, mencoba menebak-nebak jawaban sebaik mungkin. 

Sebenernya kita juga belajar mata kuliah lain, yang bahkan jadi pelajaran inti sebagai mahasiswa S2 yaitu: penelitian.

Mungkin karna masa kuliahnya yang singkat, jadi dari semester satu pun udah belajar perihal teori, metodologi penelitian dan pendekatan-pendekatannya. Intinya sih diajarin gimana kerangka pemikiran yang benar (Eh, S1 juga udah belajar ini ya?). Dan aku nggak pernah merasa se"cupu" kayak sekarang rasanya. Aku emang suka nulis, tapi kalau diminta bikin makalah penelitian gitu, pusingnya bisa kayak tawaf, tujuh keliling. Mana otak makin ke sini makin susah diajak berpikir. Mulai bebal astaghfirullah. Apa karna pengaruh gap year setahun kemaren ya, otaknya udah keenakan diajak nyantuy.

Nggak kebayang kalo aku kemaren beneran kesampaian niat mau ke Inggris, trus rencana juga mau ambil S2 yang setahun aja. Padahal disuruh bikin makalah penelitian berbahasa Indonesia yang nggak serumit tesis gini aja kesel-kesel sendiri karna nggak paham. Emang suka nggak sadar diri orangnya.

Tapi mungkin inilah hikmah. Allah belum ngasih karena tau emang belum masanya, belum sampe ilmunya buat bisa ngimbangin di sana. Diminta banyak introspeksi diri dulu. Masih banyak banget yang harus dimatengin. 

Dan kalo memang rezekinya, insyaallah akan ada aja kan jalan yang terbentang. Semogaaa, Aamiin..

Dah itu aja postingan kali ini. Masih harus lanjut ngerjain UAS, tugas bikin mini proposal penelitian gitu. Kata dosen, ini buat pemanasan sebelum nyusun tesis tahun depan. Deadlinenya lusa. 

Aku kurang pede sih dengan hasil ujian pelajaran di semester ini, tapi doain yaa nilaiku aman. Haha. Makasih.


__________

bahts: makalah penelitian? 

dars: pelajaran

bas: cukup, itu doang



Sabtu, 02 Januari 2021

Here I Am



2021. Di momen awal tahun baru gini, biasanya banyak orang yang akan memikirkan kembali resolusinya untuk satu tahun ke depan. Mulai dari merencanakan hal-hal seru, menyusun list perjalanan ke tempat asing, planning keuangan untuk target masa depan, atau sekedar melanjutkan catatan tahun lalu yang belum sempat terealisasi.

Aku pun begitu. 

Tapi sebelumnya, mau lihat ke belakang sebentar.

Di arsip tulisan 2020, atau bahkan lebih lama sebelum itu saat masih kuliah S1. Sebagai mahasiswa yang jiwa adventure-nya masih menggebu-gebu, aku punya keinginan lanjut ke jurusan yang nggak linier dengan ilmu agama, S2 di Eropa. Untuk mengejar passion yang mungkin kurang pas kalo dicari di negeri Timur Tengah.

Jadi setelah lulus pada 2019 lalu, udah mulai nyusun rencana untuk bisa berangkat ke sana. Awal tahunnya pulang ke Indonesia, beberapa bulan kemudian memantapkan bahasa di Pare, lanjut tes TOEFL/IELTS di Ibu kota, trus daftar kuliah ke luar negeri.

Indah, ya. Kalau emang bisa semulus itu.

Nyatanya nggak.

Aku pamit 'alatul dari Mesir di pertengahan Februari, mampir sebentar ke Saudi selama sebulan untuk umrah. Pas pertengahan maret mau bertolak ke Indonesia, pandemi sudah menggila. Aku bahkan tertahan di bandara Jeddah selama 3 hari karna penerbangan sudah dibatasi. Situasinya sangat rumit saat itu (mungkin kapan-kapan akan kutulis juga detail ceritanya).

Yups, seperti yang kita tau, Corona berhasil merusak banyak hal. Termasuk merubah 180o resolusi orang-orang yang mengira tahun ini akan diisi dengan wishlist yang tertulis… namun justru beralih ke; terpaksa isolasi diri & survive sehari-hari. 

Kita termasuk yang ‘beruntung’ belum mati.

Empat bulan dari Maret aku nggak ke mana-mana. Nggak keluar Bengkulu sama sekali. Alhamdulillah punya tabungan, uangnya kupakai untuk beli alat gambar digital, kemudian buka jasa ilustrasi. Lumayan banget untuk ngisi kekosongan dan memenuhi hasrat hobi. Jadi selama waktu berbulan-bulan pasca tamat tadi masih ada kegiatan, walau hanya dikerjakan di rumah.

Berita di bulan Juli, belum banyak perkembangan tentang menurunnya angka kematian sebab wabah ini. Tapi aku pun nggak bisa gitu terus-terusan ngurung diri. Nggak bisa sok idealis juga untuk maksa lanjut ke luar negeri. Jadi orang tua nyaranin untuk ambil pasca sarjana di Bengkulu ini dulu. Fuh. Bismillah, akhirnya bulan itu aku ikut ujian masuk IAIN Bengkulu, dan lulus.

Mulai bulan depannya, Agustus, aku pun ninggalin Curup, pindah ke kota. Tinggal di pondok pesantren yang jaraknya sekitar satu kilometer dari kampus. Dari awal daftar kuliah aku udah mutusin, kalo aku nggak bakal ngekos pas pindah ke kota. Banyak pertimbangan, salah satunya untuk menjaga lingkungan. Yah, aku ini tipe yang kalo nggak tertuntut keadaan, agak susah untuk bergerak. Jadi, kalau tinggal di kos, besar kemungkinan bakal jarang keluar kamar, banyakan tidurnya, atau banyakan mainnya. Haha.

Beruntung ayah ada kenalan ustadz yang punya pesantren, jadi aku bisa kuliah sambil ngajar di sana. Dan ternyata mudir itu kakak seniorku di Pondok Sakatiga. Cuma kita nggak sempat ketemu pas sekolah, karna di tahun aku masuk, beliau satu tahun sebelumnya sudah tamat.

So, here I am. Keseharianku sekarang bisa dibilang hampir full mengabdikan diri ke pesantren. Karna kuliah semester ini masih dilaksanain online, dan hanya jum'at-sabtu.

Tapi hal yang akhirnya kusyukuri sekarang, hikmah dari kejadian ini. Walau aku belum bisa meneruskan niat ke luar negeri dan hanya menetap di kota yang nggak jauh dari tempat asal, namun aku jadi bisa lebih mengenal daerah ini. Jujur, karna sejak SD sudah merantau ke luar provinsi, terutama Sumatera Selatan, pulang ke rumah hanya saat hari libur. Aku jadi lebih banyak mengenal Palembang daripada Bengkulu. Bahkan bahasa pun sering tercampur karna udah susah ngebedainnya.

Aku lebih mengenal seluk beluk daerah dan budaya Sum-Sel daripada Bengkulu. Teman-teman di Bengkulu, selain keluarga dan yang masih di Mesir, mungkin bisa dihitung jari. Karna emang sekuper itu. Aku kalo pulang jarang bergaul ke luar-luar rumah, anaknya sok introver banget emang.  

Jadi sekarang aku pun bersyukur bisa menetap lama di kota ini. Bisa lebih mengenal suasana dan dapat teman-teman baru yang sedaerah. Karna mau nggak mau, kampung halaman, tempat aku pulang ada di sini. Area dakwah yang pertama kali harus aku jelajahi pun seharusnya di sini. Kalo seluruh putra daerah yang merantau nggak pulang ke tempat asalnya, lalu dengan siapa lagi tempat itu berharap mendapat cakrawala ilmu-ilmu lain yang ada di luar. Pengetahuan dunia ini terlalu luas kalau hanya untuk disimpan sendiri tanpa disharing dengan orang dan lingkungan terdekat.

Hm. Mungkin itu dulu ceritaku di awal tahun ini.

Sebagai resolusi 2021, semoga bisa jadi pribadi yang lebih baik lagi dalam segala hal. Pergaulan, keilmuannya, kematangan usia, pengalaman dsbg. Lalu kalau memang sudah tepat waktunya, semoga segera bertemu seseorang yang bisa diajak jalan beriringan untuk berjuang bersama. Haha. Aamiin..

Semoga juga, keinginan untuk menjelajah ke negeri luar ini belum pupus, tetap membara, dan bisa direalisasikan di waktu mendatang. Yaa Rabb..

.

Kalo resolusimu?


Minggu, 12 April 2020

'Alatul



Hari ini tepat dua bulan lalu meninggalkan Negeri Seribu Menara yang juga bisa kutulis sebagai negeri seribu kenangan: Mesir. Enam tahun di sana tentu bukan waktu yang sedikit. Banyak hal yang sudah dilakukan, teman-teman baru yang sudah seperti keluarga, keberhasilan melewati hal-hal luar biasa --di luar dugaan kadang-- dan momen-momen memorable di hampir setiap sudut ibu kotanya.

Walau mestinya kutulis ini di awal-awal kepulangan kemarin saat memorinya masih segar terekam. Tapi yaa better late than never, kan. Sayang kalo tentang ini nggak dituangkan di blog.

Awal 2020 dimulai dengan sesak. Membayangkan lepas dari lingkungan tempat aku tumbuh dewasa dan sudah terbiasa di sana --sungguh berat. Sebulan terakhir menjelang 'alatul  (istilah di Mesir bagi orang yang pulang dan tidak berniat kembali lagi) aku mulai lebih fokus memerhatikan jalan-jalan yang biasa kulalui beserta suasana yang ada. Gang sempit komplek Darrasah, luasnya Masjid Azhar, ramainya kendaraan selama jalan ke Hay Asyir, dinginnya bulan Januari, serunya nobar MU di kafe bawah rumah dan nyamannya tidur pagi selama musim dingin. Haha. 
Sembari itu yang selalu kupikirkan hanya "kapan lagi aku bisa menikmati hal ini". Karna bukan sebuah pertanyaan, jadi aku merasa tak perlu berlarut mencari jawabannya. Cuma doa saja yang aku panjatkan dengan lirih di saat take off pesawat Egypt Air menuju Saudi, "semoga di lain waktu punya rezeki ke negeri kinahah ini lagi".

Lalu hari Rabu, 12 Februari itu pun tiba.
Malam terakhir gagal kupakai untuk istirahat karena diluar perkiraan butuh waktu sampai subuh untuk menyelesaikan packing barang. Tapi keuntungannya aku bisa subuhan berjamaah di Masjid Azhar. Setelah shalat, di jalan pulang jadi sedikit sibuk merenung, entah berapa banyak waktu yang sudah kusia-siakan, lebih sering bersantai di rumah daripada talaqqi di ruwaq-ruwaq masjid ini.
Sebuah kesadaran yang mungkin tak bermakna lagi. 


Paginya aku pamit dengan teman-teman rumah karna harus ke Rumah Limas dulu (nama sekretariat kawan-kawan Sum-Sel) karna nanti berangkat bareng ke bandara Kairo dari sana. Yang paling berat ditinggalkan dari rumah adalah Simpus, kucing kampung yang sudah jadi anggota rumah sejak bulan puasa tahun lalu. Walau dia sering ngeselin karna suka sok-nggak-kenal kalo dipanggil saat sudah kenyang, tapi momen dia sering berdiam cari kehangatan ke atas kasurku sulit sekali dihilangkan. Jadi sebelum keluar, aku sempatkan dulu ambil foto dengannya dan dia entah ngapain  jadi ikut-ikutan nganter sampai depan pintu dengan memasang raut muka sedikit sedih. Hmm yaa mungkin dia merasa kehilangan. Kehilangan orang yang biasa beliin dia wiskas --tentunya.

Sekitar pukul dua siang aku dan teman-teman yang mau ikut nganter, berangkat dari Limas menuju bandara.

Walau sebulan terakhir jadi sedikit melow, tapi hari itu aku memutuskan sudah nggak mau terbawa suasana, aku ingin pulang dengan rasa bahagia. Tapi keinginan ini sedikit berat memang. Beberapa kawan nakal yang gelisah kenapa momen balik ini nggak ada rasa-rasa sedihnya, mulai menghasut dengan menyampaikan narasi-narasi sedih. Aku yang sudah tau trik basi ini --karna sebelumnya sering juga nganter senior/teman yang pulang-- nggak mau tergoda.

Sampai selesai foto-foto bareng di luar bandara aku masih nggak bergeming dan aku yakin nggak bakal ada dari kawan-kawan jahil ini yang merasa puas karna misi bikin-orang-nangisnya berhasil.
Tapi bahkan dengan keyakinan yang kuat sejak awal pagi hari itu pun, berujung ambyar juga di momen terakhir saat berpelukan sebelum masuk untuk check-in. Sungguh padahal aku sudah tahan-tahan sekuat tenaga, namun akhirnya mau nggak mau mengikuti hati dan menyadari "ternyata begini ya rasanya alatul". 
Dulu aku menganggap ini --secara kasar-- hanya sebuah formalitas pamitan dan edisi sedih-sedihan itu hanya part dari 'tradisi' nganter biar 'terasa' berpisahnya. Hingga aku ngerasain sendiri dan dengan berat mengakui bahwa "ini memang momen yang menyedihkan rupanya".


Untuk penutup yang baik, di akhir tulisan ini aku pengen nyampein
terima kasih banyak kepada teman-teman di Mesir yang selama ini sering aku repotkan, yang sering menemani bergadang buat saling tukar gosip pikiran, berbagi makanan padahal sama-sama lapar, juga atas kenangan pahit dan indah yang sudah bersama dilewatkan.
Mohon maaf jika banyak salah, sampai berjumpa lagi di Indonesia, semoga tetap saling menyapa --walau jauh tapi kan bisa via sosial media, hey.

Udah itu aja. Walau tulisan ini lebay, ya nggak apa-apalah. 
Toh ini blog siapa. Haha.

Depan Limas
Bandara

 
biz.