Minggu, 24 Maret 2019

Solo atau Surakarta?



Jauh hari sebelum balik libur musim panas ke Indonesia --bulan juli lalu, aku dah ngerencanain kalo pulang nanti mesti main ke Jawa. Cuma karna nggak ada keluarga di sana, harus nyari temen jalan dulu. Haha. Jadi nyoba bikin snapgram, bilang kalo aku mau main ke Jawa tapi nggak tau mau ke mana dan sama siapa. Beberapa temen reply nawarin destinasi-destinasi yang bagus, tapi sayangnya mereka belum bisa nemenin. Temen di Jogja juga bales, cuma karna dua tahun lalu udah main ke sana --walau belum puas-- maunya nyicip daerah lain dulu. Beruntung nggak lama kemudian ada kakak senior di pondok dulu yang ngeDM ngajak ke Solo. Namanya kak Lekat. Dia dulu kuliah di sekolah tinggi pondok pas aku masih Aliyah. Momen kami yang paling aku inget itu pas pernah dia nganterin aku pulang di pertengahan semester kelas 3 aliyah lalu, diboncengin motor sampe stasiun Kertapati Palembang.

Nggak pake lama aku langsung nge-iyain dan auto browsing seputar destinasi apa aja yang bagus di Solo.


Jam 12 siang tanggal 20 Oktober 2018 --10 hari sebelum balik lagi ke Mesir, start berangkat naik kereta dari Pasar Senen ke Stasiun Purwosari Solo. Sengaja lebih milih kereta daripada bis atau pesawat mau buat nostalgia-an. Dulu pas kelas 5-6 SD di Lampung, aku sering bolak-balik ke Bengkulu naik kereta jurusan Tanjung Karang - Kertapati - Lubuk Linggau.

Sayangnya karna kurang peka, baru keingetan kalo harusnya udah mesen tiket kereta dari jauh-jauh hari, menjelang hari H tiket yang tersisa cuma gerbong ekonomi dengan harga eksekutif --itupun seat sisa dikit. Hah, sial. Sekalian biar ntar nggak keteteran, aku pun langung mesen tiket return.

Nama kereta yang membawaku ke Solo adalah Jaka Tingkir, legenda Indonesia nih. Setelah hampir 10 jam perjalanan, pukul 21.45 akhirnya sampe dengan nyaman. Nggak lama setelah itu kak Lekat ngasih tau kalo dia udah di depan stasiun. Ini pertemuan pertama kami setelah terakhir 4 tahun lalu. Wah, dia makin gemuk ternyata. Jadi kalo dipikir-pikir, selepas tamat Aliyah semua orang berubah jadi gemuk selain aku. Absurd. 

Source: Kompasiana.com
Jalanan sekitar stasiun Purwosari masih ramai. Tapi suasana khas kotanya belum begitu terasa, mungkin karna udah malem.

Oh ya, selama di Solo aku bakal nginep di tempat kak Lekat tinggal. Dari atas motor sambil menuju rumahnya, kak Lekat nyeritain kenapa dia sekarang tinggal di sini. Jadi sehabis tamat sarjana di pondok 2 tahun lalu, dia diajak sama alumni pondok yang punya pesantren kecil di tengah kota ini. Tapi lebih tepatnya sih kayak Rumah Tahfidz. Isinya anak-anak yang mau ngehapal Qur'an, dan jumlahnya --kalo nggak salah-- ada 4 rumah. Satu untuk santri putra yang udah tamat aliyah, satu untuk santri putra yang masih kecil (SD), satu untuk santri putra yang SMP dan satu lagi untuk santri putri. Hampir semua penghuni rumah itu dari Palembang. Nah kak Lekat punya tugas sebagai pengawas rumah yang pertama.

Pertama-tama, malam itu aku diajak ke rumah yang pusat, tempat mudirnya sering mampir. Namanya Ustadz Irham. Di awal cerita, beliau bilang lulus pondok tahun 2001. Beliau seangkatan dengan guru MTs-ku dan ternyata alumni S1 Syria. Obrolan jadi menarik karna kami sama-sama punya background pendidikan di Timur Tengah. Kebanyakan kami bertukar cerita antara Mesir dan negara beribukota Damaskus itu. Nggak kerasa hampir 2 jam ngobrol, kami izin pamit buat istirahat.

Sampe di rumah satunya lagi --tempat kak Lekat tinggal, aku naro barang-barang sebentar lalu ngajak makan. Soalnya dari siang baru makan sekali. Tapi karna udah tengah malem, nggak banyak warung makan yang masih buka di sekitar sana. Kami masuk ke rumah makan kecil di pinggir jalan, lalu nggak pake lama satu piring mie goreng spesial dan segelas teh hangat siap dinikmati untuk malam pertama di Solo.

***

Hari pertama, rencana mau ikut Car Free Day pagi itu batal. Badanku belum bisa move on dari kasur. Jadilah cuma nyantai-nyantai aja di asrama --salah satu hal yang kusesali. Kebetulan jam 9 paginya ada futsal-an antar anak rumah kami (yang udah tamat aliyah) dengan para ustadz. Itu jadi momen yang pas buat kenalan secara nggak langsung. Aku ikut main, tapi cuma satu babak. Masih capek --alesannya. Haha. Lalu sehabis zuhur sampe asar diajak ke rumah yang satunya, tempat anak-anak yang SMP. Di sana ketemu lagi dengan beberapa ustadz yang tadi main futsal.

Jalan-jalan hari ini tepatnya baru dimulai abis asar. Aku diajak keliling-keliling naik motor, dimulai dari Keraton Solo, melintasi jalan Slamet Riyadi yang panjang. Jalan ini lah yang biasanya dijadiin lokasi Car Free Day dan merupakan jalan utama kota Solo. Jalannya luas dan bagus. Kerennya di beberapa titik terlihat ada rel kereta yang katanya sih itu dijadiin jalur kereta pariwisata tengah kota. Sayang sampe pulang nanti aku nggak dapet kesempatan buat naik walau sekali karena operasinya hanya di waktu-waktu tertentu.

Source: Colomadu.com
Kami cuma sebentar di keraton. Berapa kali ambil dokumentasi diri abis tu langsung menuju kampung wisata batik Kauman. Jalan masuk lokasinya lewat gang kecil  yang ditandai dengan gapura. Rumah-rumah kecil terlihat berjejer padat. Ternyata kak Lekat juga baru pertama kali masuk ke dalam. Entah kami kesorean atau kenapa, sore itu hanya beberapa toko yang buka. Aku nggak sampe masuk ke toko karna yang terlihat sedang buka cuma toko pakaian biasa. Padahal niatku mau liat pameran orang-orang yang sedang buat batik. Jadi kami cuma menelusuri sepintas gang-gangnya lalu keluar. Sebalik dari Solo aku baru tau ternyata kampung batik yang populer dijadikan spot foto-foto bagus itu di kampung satunya, Kampung Laweyan.

Kami lanjut ngelewatin pasar-pasar yang ada di Solo. Ada Pasar Gede dan Pasar Klewer. Dinamakan Klewer katanya karna dulu para pedagang menawarkan dagangannya dengan disampirkan di bahu, sehingga tampak berkeleweran di pinggir jalan. Sekarang, pasar ini jadi salah satu pusat perdagangan terbesar di Solo. Rata-rata yang dijual di sini adalah pakaian, mulai dari batik tradisional sampe baju-baju modern. Sedangkan Pasar Gede diberi nama seperti itu karna mempunyai atap yang besar. Pasar ini merupakan pasar yang paling megah di Solo. Arsitektur bangunannya perpaduan antara Jawa-Belanda. Selain itu kami juga ngelewatin kawasan kuliner Gladag Langen Bogan (Galabo). Tapi sayangnya karna masih sore, belum banyak yang buka jajanan. Mereka memang baru buka sekitar dari jam 5 sore sampai tengah malam.

Source: IDN Times
Sekitar satu jam sebelum maghrib, kami sempetin pergi ke Universitas Sebelas Maret --sering disingkat jadi UNS. Yang buat aku kepikiran, kenapa singkatan kampusnya bukan USM sesuai kepanjangan? Pertanyaan itu aku jadiin snapgram dan akhirnya dijawab sama temen asal Solo. Katanya itu disingkat UNS karena asli namanya adalah Universitas Negeri Surakarta. Aku baru ngeh. Oh ya satu lagi, jujur aku baru tau ternyata Surakarta adalah nama lainnya Solo. Pertama tau karna saat nyari nama Solo di Google Maps nggak ketemu-ketemu. Ternyata setelah dicari tau, nama daerah ini emang aslinya adalah Surakarta. Sura dalam bahasa Jawa maknanya "keberanian", Karta berarti "makmur". Dari berbagai info yang aku telusurin, Surakarta umumnya dipakai untuk situasi formal seperti nama-nama kantor pemerintahan. Sedangkan nama Sala/Solo lebih sering digunain dalam keseharian atau obrolan umum makanya nama itulah yang jadi lebih melekat --selain juga karna pelafalannya yang lebih singkat dan mudah.

Kampus UNS ini gede banget. Dan yang jadi perhatian itu suasananya yang asri, banyak pepohonan sana-sini. Pokoknya adem. Tempatnya bersih juga. Wah, kayaknya betah kalo ngampus di sini. Pilihan lokasi buat nongkrongnya ada banyak. Sore itu juga tampak beberapa mahasiswa-mahasiswi yang lagi joging. Kami stop di depan gedung besar yang merupakan kantor pusat universitas. Di halamannya yang luas ada tulisan nama kampus yang besar. Cocok banget buat jadi tempat dokumentasi. Malah sore itu kebetulan lagi ada sesi pemotretan mahasiswa berseragam wisuda.

Langit mulai gelap. Kami beranjak keluar.
Karna Solo juga terkenal dengan produksi susunya, kak Lekat coba ngajak aku ke salah satu toko susu yang dia pernah mampir dan diakuinya itu susu terenak yang pernah dia coba di Solo. Namanya susu Yasmin. Kami sempet muter-muter lama karna lupa lokasinya di mana, ternyata tempatnya lagi tutup. Haha nasib. Langit dah merah jelas, kami balik ke rumah dan maghriban di sana.

Abis maghrib aku ngajak nyari makan malem di luar. Ntah kenapa lagi pengen banget makan sate. Kebetulan kak Lekat tau mana tempat sate yang enak tempat dia pernah makan. Sayangnya terulang  lagi kejadian yang sama dengan susu Yasmin tadi. Malah lebih parah. Kak Lekat lupa tempatnya di mana bahkan lupa nama warungnya apa. Hampir sepanjang maghrib sampe isya kami muter-muter nggak karuan dan akhirnya nyerah, lalu mutusin buat masuk ke warung sate mana aja yang terlihat. Pilihan jatuh ke warung tenda pinggir jalan sederhana. Yang menarik, di dalamnya ada TV dan kebetulan sedang ada siaran timnas Indonesia U-19 lawan Qatar U-19. Pas banget kami datang saat masih babak pertama dan Indonesia belum mencetak gol sama sekali. Awal babak kedua Indonesia sudah ketinggalan 5-1. Sate hangat yang kami santap mendadak dingin. Kebantai, men! Untungnya sejak Rivaldo Ferre masuk lapangan, permainan mulai keliatan menarik bahkan hampir comeback. Walau kalah 6-5, tapi Ferre cetak hattrick dengan gol-gol yang spektakuler. Tontonan yang menarik. Haha malah bahas bola.

Pulang dari sana aku langsung istirahat dengan bawaan sedikit kesel karena jaringan kartu Tri mendadak bermasalah. Padahal kan mau update foto-foto.

***

Pagi hari ke-dua, kejadian tidur abis subuh terulang lagi. Rencana mau joging santai di stadion Manahan Solo batal. Tapi saat aku baca berita, ternyata stadionnya sedang direnovasi malah sejak awal tahun. Sebelum zuhur kami ke rumah tahfidz yang anak SD. Biasa disebut rumah Badran Dua. Di dalem kantornya aku kenalan dengan Ust. Baihaqi. Beliau teman satu angkatannya Ust. Irham pas di Syria dulu. Kami ngobrol sampe zuhur. Ceritanya, beliau sepulang S1 Syria langsung lanjut S2 di Brunei. Keren emang. Sehabis zuhur sampe asar kami ke rumah satunya lagi tempat anak SMP. Enaknya di sana ada wifi. Aku pikir abis asar kami bakal jalan, tapi ternyata nggak bisa karna mendadak ada panggilan dari Ust. Irham buat ikut kumpul di rumah tempat aku nginep. Wah kapan jalan-jalannya nih. Aku pengen nolak tapi  ya nggak enakan.

Jadi ceritanya ada salah satu santri yang ngotot mau pulang ke Palembang karna dah nggak betah. Ust. Irham sengaja ngumpulin seluruh santri rumah itu buat ngasih motivasi ke mereka tentang pentingnya sabar dalam ngehapal Qur'an. Aku mendadak jadi contoh sore itu karena kebetulan sebulan sebelumnya baru abis ngambil karantina tahfidz di pondok kecil di Tangsel. Hadeh. Motivasi sore itu berlangsung lama. Padahal rencanaku sore itu mau main ke Gramedia yang sempat aku lihat pas jalan kemarin. Gedungnya bergaya jawa, beda dengan Gramedia yang ada di kota lain.

Walau sedikit ngeluh selama ngikutin kumpul motivasi tadi, hal yang aku syukuri adalah aku jadi sedikit kenal dengan santri rumah itu. Soalnya dari awal dateng belum ada ngobrol dengan mereka sama sekali karena sibuk jalan ke luar dan pulang pas udah malem. Berhubung yang tinggal di rumah itu adalah santri-santri yang udah tamat aliyah di pondok --yang sama denganku dulu, ternyata beberapa dari mereka yang mondok nya dari MTs ada yang saling kenal.

Abis maghrib kami balik ke rumah Badran Dua. Di sana lagi pesta jagung bakar. Ntah berapa karung jagung yang dibeli. Katanya kebetulan tadi lagi dijual murah. Nggak ada alasan buat nolak gabung bakar-bakar.

Jadilah jalan-jalan hari ini baru dimulai abis isya. Aku ngajak jalan ke Taman Sriwedari. Di taman ini ada Gedung Wayang Orang yang setiap malamnya menampilkan pertunjukan seni wayang orang. Tapi kami nggak masuk, cuma mau foto-foto. Sekitar 100 meter di sebelah kanannya ada tulisan I LOVE SOLO gede. Cocok jadi tempat foto yang nandain kita pernah mampir ke sini. Oh ya, kalo dipikir dikit, rasanya aku belum nemu semacam trademark kota ini tuh apa. Kalo Jogja kan terkenal dengan tugunya atau Palembang dengan Ampera-nya. Paling yang aku lihat cuma di ujung jalan panjang Slamet Riyadi ada patung tokoh pahlawan nasional tersebut yang berdiri tegap. Mungkin itu ya.

Source: traveltodayindonesia.com
Puas foto di sana, sambil jalan pulang kami mampir ke penjual Wedang Ronde yang buka lapak di pinggir jalan. Semenjak pertama kali nyicip minuman ini di Jogja, aku jadi ketagihan dan memang udah niatin diri buat nyoba itu lagi kalo ke daerah jawa. Bagian yang paling enak adalah bola kecil putih di dalamnya. Hm..

***
Pagi hari ketiga di Solo, aku nemenin santri yang udah nggak betah kemaren itu buat beli tiket pulang ke Palembang. Niat dia udah bulat walau kemaren udah dimotivasi lama-lama. Karena tiketnya udah dipesen online, jadi pagi itu aku cuma nemenin buat bayar di ATM. Sengaja aku yang nemenin karna mau sekalian keliling santai juga. Selesai urusan pembayaran, ternyata ATM yang kami singgahi nggak jauh dari lokasi kampus baru Muhammadiyah Surakarta (UMS). Kemaren aku sempet ngeliat sekilas dari luar dan gedung barunya beneran bagus. Jadi sebelum balik rumah, aku ngajak santri tadi buat mampir foto-foto dulu di sana.

Dan bener aja, kampus ini keren banget. Arsitekturnya mantep, di sampingnya juga ada danau kecil dan udah ditata secantik mungkin. Bisa dibilang banyak banget sudut-sudut yang cakep untuk dijadiin background. Cuma sayangnya kami nggak bisa lama-lama karna udah ditelpon buat pulang.


Ternyata disuruh pulang cepet karna kak Lekat mau ngajak berenang bareng ustad-ustad rumah lain. Kami berangkat sehabis sarapan pagi. Nama tempat yang kami tuju adalah Mata Air Cokro di Klaten. Cukup jauh jalan yang ditempuh, tapi nggak kerasa karna hampir sepanjang jalan kiri-kanannya dihiasi sawah-sawah hijau. Bener-bener indah. Padahal sejauh kami keliling kemaren belum ada ngelewatin komplek persawahan sama sekali. Sebenernya suasana hijau-hijau kayak gini yang sering bikin kangen Indonesia kalo udah balik ke Mesir nanti.

Sampe di lokasi, di sana banyak banget pohon rindang. Bentuk kolamnya lurus memanjang, dari pangkal mata air sampai di bawahnya ada bendungan besar. Jangan tanya airnya sebening apa karna kita lagi di sumber mata air langsung. Dan pastinya dingin banget. Di sepanjang kolam banyak gerobak-gerobak kecil yang menjajakan makanan-makanan ringan dan gorengan. Jadi sehabis berenang, kami sibuk menyantap gorengan hangat dan segelas teh panas. Indah kali lah momen ini.

Saat keluar, aku kira kami bakal langsung pulang. Ternyata yang lain masih mau berenang di tempat lain. Katanya di sana lebih seru lagi karna bisa foto-foto di bawah kolam. Nama tempatnya Umbul Ponggok dan lokasinya lebih jauh lagi. Kali ini aku nggak ikut berenang karna udah capek. Jadi saat yang lain sibuk di dalam air, aku cuma nyantai di tempat duduk pinggir kolam. Baru abis zuhur kami bener-bener pulang dan sempet mampir sebentar buat beli es dogan. Lalu sisa hari ini aku habiskan di rumah.

***
25 Oktober, hari terakhir di Solo.
Sore nanti aku udah harus ke stasiun. Jadi jadwal pagi ini adalah beli oleh-oleh. Tapi sebelum belanja ke Pasar Klewer, aku ngajak buat foto-foto lagi bentar di halaman Keraton. Kebetulan pagi itu keraton belum terlalu rame jadi bisa lebih mudah untuk diexplore. Di Klewer aku beli beberapa batik dan kaos khas Solo buat keponakan yang baru lahir. Baru setelahnya kami ke pusat oleh-oleh jajanan. Karna emang Solo dan Jogja itu nggak jauh dan banyak persamaannya, jadi di toko ini banyak jajanan yang berasal dari Jogja. Salah satu yang kubeli adalah kopi Jogja, bubuk minuman wedang uwuh dan beras kencur. Biar bisa dinikmati kalo udah pulang ke Mesir.

Jam 4 sore aku udah di stasiun setelah sebelumnya sempet mampir buat beli nasi dan cemilan dulu. Karna perjalanan kan lama sampe 10 jam. Di awal pergi kemaren aku nggak kepikiran beli makanan berat dan akhirnya terpaksa beli di kantin kereta yang harganya mahal tapi rasa standar. Yah daripada kelaparan, kan. Yang nganter pulang sore ini ada kak Lekat dan Ustad Baihaqi. Setelah ambil tiket aku pamit dan masuk ke dalam. Nggak lupa juga bilang terima kasih banyak atas kesediaan, keramahan dan rela direpotin selama di Solo. 


Sedihnya, kereta --namanya Gaya Baru Malam-- yang akan membawa kami telat datang hampir 2 jam. Jadi yang seharusnya sampe di Pasar Senen pukul 2 pagi harus molor sampe menjelang Subuh. Tapi nggak papa juga sih. Toh aku mesti nunggu di stasiunnya sampe bakda subuh, karna dari Senen aku masih harus nyambung lagi naik KRL ke Tanah Abang lalu Pondok Ranji dekat tempat abangku tinggal. Loket KRL baru buka abis subuh.

Jadi, begitulah cerita jalan-jalannya. Haha panjang juga. Aku sengaja nulis agak rinci biar kapan-kapan saat dibaca lagi memori perjalanan ini bisa diingat ulang secara detail. Dan intinya 4 hari 3 malam di Solo sangat mengesankan. Sayangnya di waktu yang terbatas itu masih banyak sudut indah kota ini yang belum aku jelajah. Moga di lain kesempatan bisa main ke sini lagi. Trus kalo dikasih umur panjang dan rezeki, daerah Jawa selanjutnya yang pengen banget aku kunjungin adalah Kota Apel, Malang. Moga kesampaian deh, aamiin..

Pertanyaan, kalian pernah ke Solo dan Malang? Atau malah tinggal di sana?

Nanti bagi-bagi juga ya ceritanya atau sharing destinasi mana yang paling keren buat ditelusuri.

Kamis, 21 Maret 2019

Mulai Resah



Di tulisan sebelumnya aku ada cerita kalo sekarang sedang duduk di semester akhir kuliah sarjana. Yang mana itu buat aku jadi suka introspeksi diri tentang apahal aja yang udah dilakuin berapa tahun terakhir ini. Nggak jarang suka melenguh nyesel karna banyak momen-momen baik yang seharusnya bisa dijalanin malah sering dilewatin gitu aja. Yah walau percuma juga sih diinget --waktu nggak bisa balik lagi, kan. Sekarang yang harus  difokusin cuma belajar, trus gimana caranya biar ujian term dua bulan Mei nanti lancar dan dapet nilai bagus, lalu lulus.

Tapi sebenernya ada satu hal lagi --yang suka kepikiran sama mahasiswa semester akhir; abis ini ngapain deh?

Bagiku ini sebuah fase baru. Karna sebelumnya nggak pernah perlu mikir jauh dan mendetail. Abis belajar SD otomatis aja lanjut SMP -trus SMA trus kuliah. Persis ngikutin standar hidup pendidikan pada umumnya. Mungkin satu-satunya yang diperhatiin cuma "ntar enak/bagusnya lanjut sekolah di mana ya". Semua berjalan normal tanpa banyak hambatan dan pertanyaan.

Kalo udah kek sekarang, pikiran jadi mudah bercabang. Habis S1 ini mau lanjut S2, kah? Kerja? Nikah? Tiga-tiganya?
Itupun nanti akan bercabang lagi. S2 di mana nih, lanjut di tempat sekarang atau pulang, atau ke tempat baru lainnya?
Kerja? Wah, apa ya yang bisa dikerjain. Ikutin jurusan atau passion? Pengen banget sih punya kerjaan sendiri dan nggak bergantung lagi sama ortu. Cuma apa iya aku sanggup gitu sekarang? Seberapa jauh? Apa bakal mencukupi? Ah baru sadar betapa culunnya aku dalam hal dunia kerja yang serius. Yah selama ini kerja-kerja yang diambil cuma alakadarnya tanpa tertuntut target. 
Nikah? Hm.. tahun ini masih umur 23. Udah timing-nya atau ntaran aja ya. Temen seangkatan udah banyak sih yang hidup berdua. Adek-adek kelas juga. Apa aku udah siap? Atau ntar pas umur 25 aja yang katanya itu waktu paling pas buat ngejalin hubungan serius?

Pikiran-pikiran kek gini nggak berkesudahan dan lebih sering gentayangan menjelang tidur, lalu nggak terselesaikan karna lebih dulu ditelan kantuk. Begitu seterusnya sampe kini.

Mungkin solusi terbaik emang ambil wudhu kemudian istikharah, biar waktu yang menyelesaikan?
Tapi rasanya nggak bertanggungjawab sekali jika hanya seperti itu; menunggu lalu semua diserahkan kepada Tuhan. Mungkinkah ada hal lain yang bisa aku kerjain?!

Lagi-lagi jawaban yang aku dapet cuma jawaban mainstream: jalanin aja lah apa yang udah dilakuin sekarang. (Persis kek akhir paragraf pertama tulisan tadi dengan satu paragraf sebelum ini.) 
Yah, duniaku memang paradox.

*
Pada akhirnya tulisan ini hanya ditujukan buat diri sendiri dan diselesaikan sendiri.
Ditulis cuma untuk memenuhi hasrat yang ditahan. Sengaja ditumpahkan karna tersentil tulisan Mojok.co tentang streotip masyarakat tentang prospek kerja mahasiswa sesuai jurusannya. Kan aku kepikiran, apa iya pilihanku nanti terbatas jadi ustadz/pengajar bidang keagamaan?

Tulisan ini juga ditujukan padaku jika di masa depan nanti berkesempatan baca ulang tulisan ini. Bahwa pernah juga bergalau ria tentang pilihan hidup masa umur 20an. Haha.

 
biz.