Kamis, 28 November 2024

Dikunjung



Sudah empat bulan saya dan keluarga tinggal di pesantren, di tengah perkebunan kopi, jauh dari keramaian. Selain terpencil, suasananya pun lebih sering sunyi. Penghuni pesantren tidak sampai 10 orang dan dalam kesehariannya punya kesibukan masing-masing. Pergi ke kota? Bisa dihitung jari. 

Maka rasanya senang sekali saat ada yang datang main ke sini. Entah itu anak-anak dari desa sebelah yang numpang main bola, atau temannya orang tua yang mampir saat jumatan sepekan sekali. Melihat wajah selain penghuni pesantren pun seperti anugerah. Haha. 

Bila diukur jarak, sebenarnya pesantren kami masih sangat terjangkau untuk dikunjungi atau sekadar ada yang mau mampir. Alamatnya di pinggir jalan raya antara 2 kabupaten besar di Bengkulu. Tapi memang yang sangat menghambat adalah akses atau jalan masuk ke pesantrennya yang buruk. Padahal tidak sampai 1KM tapi kesannya jauh. Bahkan bagi orang kebun atau pekerja yang sering bolak-balik pesantren mengakui masih kesulitan di jalan saat datang dan pulang dari sini.

Dalam hal lain, sejujurnya walau saya lahir di Curup yang berjarak kurang lebih 30 menit dari pesantren --masih di satu kabupaten yang sama, tapi saya tidak punya banyak teman di sini. Mungkin tidak sampai 20 nama yang bisa saya sebutkan, dan di antaranya tidak sampai 5 orang yang masih bertegur sapa, dan entah kapan pula terakhir kami berkomunikasi. 

Teman yang saya punya lebih banyak di luar Curup, umumnya teman-teman saat mondok di Sumatera Selatan atau saat kuliah di Mesir. Persoalannya, kalau yang dari Curup saja jarang ke sini, apalagi mengharapkan teman yang jauh untuk datang, ya kan. 

Tapi Allah tahu sekali cara menghibur.
Dalam empat bulan ini ada saja teman yang datang. Mulai dari Kak Mif serta keluarga yang baru mudik dari Solo & Jogja, ada Bhagawan serta istri yang baru menikah, ada juga Mudir, Ketua Yayasan dan Diki Tim Media Pesantren tempat dulu saya mengajar sambil kuliah S2. 

Kunjungan Ponpes Abdurrahman Al-Fatih Bengkulu
Yang terbaru, 2 pekan lalu. Yang ini beneran terasa seperti "durian runtuh", sih. Dapat kabar kakak kelas & teman-teman di Mesir dulu yang sekarang mengajar di pesantren di Sumatera Selatan mau mampir. Saya dan istri excited! Ada Kak Aidil, Mbak Mif, Adi, Buk Fafa serta Alfa dan Umi Maska, bersama rombongan Asatiz bidang Tahfiz Ponpes Assalam, Muba

Kemudian Kamis lalu (21/11/2024) mereka jadi rihlah ke Kota Bengkulu. Tentu saja destinasi utamanya adalah pantai. Tapi karena lokasi pesantren kami tidak terlalu jauh dari jalan yang akan dilintasi, mereka pun sekalian bikin agenda berkunjung ke sini selepas dari Kota Bengkulu dan menginap semalam. 

Saat kabar ini saya sampaikan ke orang tua, malah mereka yang tampak lebih antusias menyambut. Segala perlengkapan menginap sat-set disiapkan, termasuk bahan masakan yang mungkin diperlukan, dikirim semua-muanya dari Curup.

Tapi sebelum itu ada hal lain yang selalu kami perbincangkan: tentang jalan. Ada kekhawatiran mini bus yang dipakai rombongan tidak bisa melintas masuk. Beberapa skenario pun coba kami simulasikan, secara ada 2 jalur yang bisa jadi jalan masuk/keluar pesantren, namun dengan plus-minus nya masing-masing. 

1. Jalan masuk dari pinggir jalan raya Curup-Lebong adalah jalan utama yang biasa kami lalui karena jaraknya yang dekat. Namun lintasannya curam dengan 3 tanjakan beserta batu-batu kerikil yang menyulitkan.

2. Jalan satunya lagi, perlu memutar. Selisih 10 menit dari jalan utama. Jalurnya lebih datar tapi ada 1 tanjakan yang mengkhawatirkan karena di tengah antara turunan dan tanjakannya sering menggenang air dan sering bikin ban mobil meleng seketika. 

Hingga tiba sore di hari H...
"Bismillah, lewat jalan utama saja," ayah saya memutuskan. Dan syukurlah itu keputusan yang tepat. Rombongan berhasil sampai dengan aman, walau kata para penumpang jantungnya sempat dag-dig-dug-ser~

Di tengah hujan rintik-rintik yang turun perlahan sejak maghrib, keluar dari jendela pintu mobil wajah-wajah yang sudah lama tidak terlihat. Aneh sebenarnya, padahal sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu tapi saat bertemu lagi terasa seperti biasa saja. Seperti tidak pernah berpisah. Seperti biasa saat kami di Mesir dulu kalau ada acara dan berkumpul di Sekretariat. Jadi bawaannya biasa saja meski sebelumnya antusias menanti. Kalau sudah begitu dekat apa memang begini ya responnya. 

Selepas makan malam, satu-persatu lampu di pesantren dimatikan. Dalam sekejap pun semua terlelap. Hingga malam itu yang tersisa hanya paduan suara jangkrik, kodok dan ngorok yang bersahut-sahutan. Haha. Nampaknya memang lelah sekali dari perjalanan yang panjang. 

Besok paginya, sudah full charged. Selepas dari baca Al-Kahfi di masjid bersama para santri, saya mengajak Ust. Dimas dan Adi minum kopi sambil mengobrol di depan rumah. Kak Aidil tidak nimbrung dan lebih memilih ngobrol bersama santri di depan asramanya. Ternyata sedang memberi wejangan dan memotivasi mereka karena kemarin sempat baca postingan sebelum ini tentang mereka yang lagi proses adaptasi. Sungguh bapakable sekaliYang lain ada yang main tenis meja, berkeliling pesantren, melihat kebun, bantu masak di dapur, dll. 

Sayangnya suasana ramai ini cuma sebentar. Pukul 9 pagi sudah harus berpamitan, berpoto, berpelukan, then say hi. Cepat sekaliiii. 

Sebelum beranjak dan gas diinjak, banyak dari rombongan yang mengatakan mau mampir lagi kapan-kapan. Tentu saja kami senang dan menawarkan. Kalau mau, coba datang di awal tahun depan antara Februari-Maret saat musim durian. Biasanya di Curup kalau sudah musimnya, di mana-mana di pinggir jalan area pasar dan tempat yang ramai dilewati kendaraan pasti ada yang jualan durian. Awal tahun lalu bahkan Umi Maska dan rombongan bawa pulang banyak durian dan 20kg tempoyak. 

Jadi kalau sekarang kami yang serasa mendapat "durian runtuh" karena dikunjungi, mudah-mudahan tahun depan ada lagi yang datang berkunjung di saat musim panen durian beneran. 

Oh iya, mereka pamit pagi hari karena sudah punya rencana untuk mampir dulu di destinasi wisata lainnya di Curup sebelum bertolak pulang. Saya pun merekomendasikan beberapa opsi, termasuk yang biasa jadi pilihan utama orang-orang yang jalan-jalan ke Curup yaitu ke pemandian air panas & air terjun Suban, dan sebelumnya juga ada Tebing Suban. Dua-duanya recommended untuk dikunjungi! Di dekat Suban juga ada rumah makan yang nyaman dan enak, Lesehan Pancur. Yah, walau agak pricey tapi worth it

Terakhir, kami dapat cerita dari oom yang jaga pondok saat menemani rombongan pulang lewat jalan yang satunya. Ternyata walau sudah berhasil lolos dari rintangan genangan air, tapi mereka terjebak di tanjakannya selama setengah jam. Haha. Mohon maaf, lah, ya. Mudah-mudahan tidak jadi trauma. 

Mohon doakan semoga di kunjungan berikutnya akses jalan keluar-masuk pesantren sudah bagus dan tidak perlu berpikir keras lagi bagi yang mau mampir. Aamiin. 

Galeri lainnya:

Ahmad Rofiq

Author

Seorang mahasiswa biasa di Universitas al-Azhar Kairo

0 komentar:

 
biz.