Rabu, 13 Januari 2016-
Aku ingin buka tulisan ini dengan satu pertanyaan dulu.
Kalian percaya dengan jodoh?
Ups. Cukup simpan jawaban kalian masing-masing di dalam hati.
Aku ingin bercerita. Cerita yang panjang. Kadang ada juga beberapa hal yang
memalukan. Kalian mau membacanya? Baiklah. Silakan, dan selamat membaca.
11 tahun yang lalu, saat kelas 4 SD. Aku hanyalah seorang
murid SD biasa di SD negeri yang biasa di kotaku. Tak ada yang terlalu spesial
di kehidupanku saat itu. Kerjaanku di luar kelas sama seperti anak-anak yang
lain. Baca komik dan bermain. Mungkin belum ada permainan anak-anak zaman itu
yang tidak pernah kumainkan. Termasuk main cinta-cintaan ala anak SD. Haha.
Kalian pasti pernah kan mengolok-ngolok, comblang-comblangan sesama teman
sekelas? Aku juga pernah. Baik sebagai comblang, maupun yang dicomblangkan. Aku
lumayan bersyukur dicomblangkan dengan primadona kelas saat itu.
Sekolahku jauh dari rumah. Tidak seperti anak-anak sekarang
yang pergi-pulang sekolah selalu diantar, aku punya seorang abang yang usianya
hanya satu tahun di atasku yang selalu pergi-pulang sekolah bersama, jalan
kaki. Kami tidak mengeluh. Kami bahkan menikmati setiap dapat rute-rute baru
yang lebih cepat. Hanya saat-saat tertentu kami naik ojek, contohnya saat hujan
deras di luar.
Tidak ada yang terlalu istimewa di kehidupan SDku. Aku hanya
murid SD biasa. Bukan ketua kelas, bukan kesayangan guru, bukan juga murid yang
senang duduk di bangku barisan depan.
Yah mungkin kecuali satu hal, tulisan tanganku sudah dinilai bagus
saat SD. Aku sering dipuji karna itu dan pernah diutus lomba kaligrafi walaupun
tidak pernah dapat trofi. Hah. Bukan hal yang terlalu bagus untuk dibanggakan.
Namun saat 4 SD, aku sedikit berubah. Tepatnya saat semester
1. Untuk pertama kalinya aku ranking 1 di kelas. Wow! Aku senang sekali
saat itu. Tidak sia-sia ibu membantuku belajar di rumah walaupun sudah lelah
sepulang dari pasar ataupun ayah yang juga membantuku walau juga sedang punya
banyak kerjaan.
Hari saat pembagian rapor itu orang tuaku tidak datang ke
sekolah. Ibu kerja di pasar. Ayah juga sedang sibuk mengajar.
Tapi tenang saja. Jarak antara sekolah ke pasar dibanding
sekolah ke rumahku tidaklah terlalu jauh. Bubar dari pembagian rapor kalian tau
apa yang kulakukan? Aku berlari dari sekolah ke pasar. Terserah orang di jalan
melihatku seperti apa. Harusnya sih mereka biasa saja melihat anak SD
lari-larian. Aku hanya tidak ingat apakah saat lari itu aku juga sambil
teriak-teriak kegirangan. Haha.
Begitu senangnya aku dapat peringkat pertama di kelas, aku
langsung menemui ibu di pasar. Aku bangga sekali. Ibu memujiku.
Baru kali itu aku merasa sangat senang selain saat aku lulus
naik dari bacaan Iqro’ ke bacaan al-Qur’an di TPA.
Yah, mungkin dapat peringkat 1 bukanlah hal yang istimewa
bagi kalian bukan? Kalian mungkin sudah mendapatkannya dari sejak kelas 1 SD.
Tapi bagaimanapun ini peringkat 1 pertamaku. Biarkan aku merayakannya okey?
Bisa dikatakan sejak saat itu aku sedikit berubah. Aku
sedikit lebih diperhatikan dan sedikit berusaha lebih rajin dari biasanya.
Namun walau lebih rajin, itu tidak bisa mempertahankan peringkatku di semester
1. Aku turun 2 tingkat di semester berikutnya. Kecewa memang. Tapi bukan
masalah karena aku bisa mencoba lagi untuk lebih baik semester depan.
Naik ke kelas 5, aku siap menyambut semester baru dan
bertekad mengembalikan peringkatku yang sempat ‘dicuri’. Tapi ternyata tidak
bisa lagi. Bukan, bukan karena aku dapat nilai yang jelek. Itu karena aku
diajak untuk pindah sekolah.
Kenapa harus pindah? padahal baru saja aku mulai lebih menikmati kehidupan
SD ku di sini.
Orang tuaku bilang, ada sekolah yang lebih baik untukku.
Pondok pesantren. Kosakata baru dalam hidupku.
Jadilah aku pindah sekolah saat naik kelas 5 SD, di saat-saat
aku sudah lebih menikmati keseharianku dan juga –mungkin-- mulai diakui oleh
guru-guru dan teman-teman.
Pondok pesantren tempatku pindah itu berada di Lampung. Jauh
sekali dari rumahku di Bengkulu. Terlalu jauh untuk bisa pulang-pergi seperti
di SDku dulu. Naik kereta pun menghabiskan waktu perjalanan sehari-semalam.
Mungkin kalau bisa naik ojek untuk pulang aku bakal pulang-pergi naik ojek.
Jadi di sinilah kehidupan baruku. Di pondok pesantren.
Ibu bilang ini adalah sekolah untuk menjadi hafizh Qur’an.
Aku sempat tertegun. Aku mungkin memang sudah hafal banyak surat-surat pendek
dari belajar di TPA dulu. Tapi hey, Qur’an itu 30 juz bukan juz 30.
Setelah beberapa kali ibu meyakinkanku, aku pun bersedia
untuk mondok di sini.
Ibu dan beberapa keluarga yang ikut mengantarku pun pulang.
Aku merasa di sini akan jauh lebih buruk dibanding dengan kehidupanku yang
biasa di SD negeri.
Awal-awal kehidupanku di pondok tidak terasa mudah. Selain
diterpa rindu membuncah yang berakhir dengan air mata tertumpah bersamaan saat
mandi, aku juga merasa belum terlalu disenangi di sini. Aku anak pindahan. Anak
baru di sini. Dan aku adalah anak yang pendiam.
Beberapa makanan bawaanku dari rumah tiba-tiba saja hilang di
lemari kecilku. Tak ada teman sekamar yang mengaku. Mengadu ke ustad pun tidak
merubah keadaan. Dan akhirnya aku hanya sesenggukan dengan lembaran-lembaran
Qur’an yang kubaca di masjid pondok.
Setiap jumat pagi saat libur aku menelepon orang tua. Meminjam
hp ustad dan setiap telpon selalu nangis, dan lama. Sampai-sampai ustad kesal
mendengar tangisku tiap minggu. Dan selanjutnya aku dibatasi. Aku tidak lagi
teleponan setiap minggu.
Setahun berlalu, aku sudah mulai menikmati keseharianku di
sini. Aku sudah sangat dekat dengan ustad-ustad. Mungkin karna aku anak yang
penurut. Aku juga merasa sudah menjadi santri kesayangan. Bacaanku juga bagus
kata ustad. Aku bersyukur dalam hati.
Dan juga, kami punya asrama baru.
Asrama itu 2 tingkat. Besar, dan luas. Katanya akan ditambah satu lantai lagi --sekarang sudah 3 tingkat. Sangat beda jauh
dengan asrama kami sebelumnya.
Lemariku besar, ranjangnya juga besar, kasur pun lumayan
tebal.
Aku sangat menikmati hari-hariku di pondok.
Hanya saja, kunjungan ayah dan ibu ke pondok kadang membuatku
dilema. Satu hal aku senang karena dijenguk, satu hal lagi aku tidak bisa
melepaskan mereka saat bilang mau pulang. Pernah saat itu aku bilang ke ibu
yang sudah mau pulang, sambil merengek-rengek bilang kalau aku mau pulang ke
rumah semeniiiit saja. Ibu menatapku lama. Mungkin hendak tertawa dan berujar
dalam hati ‘Mana mungkin pulang ke rumah cuma semenit, nak. Itu cuma alasanmu
saja’. Dan untung saat itu salah satu ustad pintar membujukku dan aku berakhir
dengan hanya menatap lama kepergian punggung ibu yang berjalan keluar gerbang.
Tahun keduaku di pondok, aku berusaha lebih tegar. Aku juga
semakin rajin menghafal. Semakin rajin belajar.
Selepas ujian nasional 6 SD, aku dikejutkan dengan ajakan
Bapak Kyai pondok. Beliau mengajakku pergi ke Malaysia. Benar-benar
mengejutkan.
Aku memang sudah lama mendengar bahwa ada hubungan antara
pondok kami dengan Malaysia. Tahun lalu pun ada 2 orang santri kembar yang
diajak kesana untuk tampil mengaji. Tapi hey, mereka beda denganku. Mereka
lebih muda setahun dariku dan punya hafalan Qur’an jauh lebih banyak. Bacaan
mereka juga lebih baik. Mereka juga masih ada di pondok. Kenapa bukan mereka
lagi saja yang ke sana?
Tapi ternyata aku diajak bukan untuk tampil mengaji.
Aku diajak untuk tampil ceramah. Huah. Aku berfikir ini
sangat aneh. Aku bukan seorang santri yang bagus ceramahnya saat berdiri tampil
di kegiatan muhadharah pondok.
Sejak diajak itu, aku diberi latihan khusus oleh Bapak Kyai
–kami memanggil beliau dengan Bapak. Setelah lumayan cukup latihannya, aku
diminta tampil di depan santri-santriwati satu pondok. Huahhh. Aku tidak biasa
tampil seperti itu. Aku ini anak yang pendiam. Maju ke depan adalah hal yang
sangat memalukan bagiku. Selama ini aku hanya maju ke depan untuk menjalani
tugas-tugas santri biasanya yang memang sudah giliran. Seperti tampil baca
Qur’an 2 halaman berlanjut setiap ba’da zhuhur atau memimpin al-Kahfi
setiap kamis sore. Atau juga maju untuk menerima hukuman karena tidak sampai
target hafalan mingguan.
Namun aku pun benar-benar tampil.
Aku tidak tahu apakah penampilanku bagus saat itu atau tidak.
Yang pastinya, aku pun berangkat ke Malaysia.
Mungkin tidak ada anak-anak yang tidak senang ketika diajak
ke luar negeri. Walaupun aku ke sana bukan untuk berlibur, tetap saja terasa
menyenangkan dan juga… membanggakan.
Sebulan penuh aku tampil ceramah di sana. Kemudian pulang
lagi ke pondok.
Beberapa minggu kemudian aku ke sana lagi. Sebulan penuh.
Setelah itu pulang lagi ke pondok.
Beberapa minggu kemudian aku ke sana lagi. Sebulan penuh.
Setelah itu... ups. Aku tidak pulang lagi ke pondok. Aku pindah.
Sudah cukup tiga bulan saja. Lebih dari cukup bagiku. Dan aku
pindah. Pindah dengan beberapa alasan pribadiku.
Lagi-lagi pindah di saat aku sudah sangat menikmati
keseharianku.
Saat itu tahun 2007. Setelah habis bulan Ramadhan.
Walau aku pindah, aku masih lanjut mondok. Kali ini
aku pindah ke salah satu pesantren terkemuka di Sumatera Selatan. Walau baru
masuk setelah Ramadhan, sebagai anak pindahan, aku disambut baik di sini. Mungkin
karna aku sudah lebih mudah bergaul. Dan mungkin juga karena aku pindahan
pondok tahfizh yang ternyata sudah dikenal di sini.
Aku mempunyai satu kakak perempuan sepupu yang juga mondok
di sini. Dia kelas 3 Aliyah dan punya jabatan sebagai ketua organisasi
pelajar putri. Karena hal itu, aku jadi memiliki sedikit perhatian lebih dari
kakak-kakak senior.
Dan juga ternyata aku masih memiliki hubungan keluarga dengan
Kyai pondok. Aku semakin disegani. Hal ini baru aku tau setelah beberapa bulan
di pondok sini.
Sebenarnya aku tidak mau disegani seperti itu. Tapi
setidaknya aku punya orang yang bisa membantuku jika aku kesusahan nanti.
Alhamdulillah aku juga tidak butuh waktu yang lama untuk jadi
santri kesayangan pondok. Pondok? Iya. Entahlah, aku merasa seperti itu. Pondok
ini benar-benar serasa menjadi rumah keduaku. Semuanya terasa menyenangkan.
Aku juga menjadi santri kebanggaan. Karna aku mempunyai
bacaan dan hafalan Qur’an yang lebih baik dari teman seusiaku. Saat awal-awal
kedatanganku pun, setelah mereka tau aku sudah biasa ceramah, secara otomatis
aku sering tampil di kegiatan-kegiatan pondok. Termasuk acara besar.
Ujian semester 1 pun berlalu. Saat pembagian rapor, secara
mengejutkan aku dapat juara umum pondok. Waw. Aku juga benar-benar terkejut.
Sama seperti kalian yang membaca cerita ini. Aku hanya tidak percaya. Padahal
aku hanya baru beberapa bulan di sini.
Dan hari-hariku di sini pun semakin terasa menyenangkan. Aku
dapat beasiswa satu semester ke depan.
Di semester ke-2, banyak hal menyenangkan lainnya yang
kualami. Salah satunya saat aku mengikuti MTQ dan lolos ke provinsi, juga saat
aku untuk pertama kalinya berjalan jauh sebagai perwakilan pondok ini ke suatu
daerah yang sejuk di Sum-Sel dan hanya aku santri perwakilan dari kelas 1 MTs.
Juga saat pembagian rapor semester 2 dan aku masih ranking 1 di kelas
walau tidak lagi juara umum.
Tapi lagi-lagi keseharianku yang mulai menyenangkan harus
terhenti. Aku pindah lagi. Untuk suatu alasan pribadi.
Oke, sampai saat ini kalian mungkin sudah menyimpan satu
pertanyaan yang hendak disampaikan.
Lalu apa hubungan cerita-ceritamu dari tadi dengan judul tulisan ini? Di bagian mana kau menyinggung kata-kata jodoh?
Lalu apa hubungan cerita-ceritamu dari tadi dengan judul tulisan ini? Di bagian mana kau menyinggung kata-kata jodoh?
Aku tidak sedang berbicara tentang jodoh yang kalian kira di
awal, teman. Ini adalah cerita tentang tidak berjodohnya aku dengan kehidupanku
di saat-saat itu.
Iya, seperti yang kalian baca tadi. Ini adalah cerita tentang
jodoh hidup. Kehidupanku.
Aku yang awalnya sudah senang dengan kehidupan SDku dari yang
sangat biasa tadi. Dan berharap terus berlanjut hingga aku lulus, ternyata
tidak. Aku harus pindah. Tempat itu bukan jodohku.
Kemudian aku pindah ke pondok tahfizh. Pondok yang jauh.
Awal-awal yang sulit di usiaku saat itu untuk jauh dari orang tua. Tapi
akhirnya aku bisa menjalaninya. Dan aku bahagia bisa mondok di sana. Ada
banyak pengalaman baru yang aku dapatkan lebih dari saat di SD dulu. Aku kira
akan terus bahagia di sana dan akan terus berada di sana hingga aku jadi hafiz
al-Qur’an. Tapi ternyata tidak. Aku harus pindah. Tempat itu bukan jodohku.
Kemudian aku pindah lagi ke suasana baru. Pondok baru di
Sum-Sel. Aku sudah punya banyak teman-teman baik, pengalaman yang baik dan
sudah sangat nyaman. Tapi ternyata tidak juga. Aku harus pindah lagi. Tempat
itu bukan jodohku.
Kalian sudah faham bukan dengan cerita jodohku kali ini??
Oke, aku hendak melanjutkan cerita ini. Jangan kecewa dulu. Kalian
masih mau membacanya? Baik, kita lanjutkan.
Aku pun pindah lagi. Masih lanjut ke pondok pesantren. Namun
dengan pondok yang berbeda dari pondok yang sebelumnya. Pondok ini juga berada
di daerah Sum-Sel.
Dengan sudah hidup 2 tahun di pondok Lampung dan 1 tahun di
pondok sebelumnya, sekarang aku sudah cukup berpengalaman untuk jauh dari orang
tua.
Saat itu pertengahan tahun 2008.
Pondok ini sangat besar. Itu yang pertama kali kurasakan saat
memasukinya. Bahkan saat awal-awal di sini aku cukup kesulitan hanya karena
banyaknya gedung-gedung yang belum kuhafal. Padahal aku hendak menemui salah
satu temanku. Dia berada di gedung asrama yang berbeda denganku.
Kali ini aku berharap kalau pondok ini adalah benar-benar
jodohku. Tidak bakal berganti dan tidak akan pindah lagi sampai aku tamat.
Aku sudah kelas 2 MTs. Aku juga sudah mudah bergaul kali ini.
Tidak perlu waktu yang lama untukku beradaptasi di suasana baru. Aku akan
baik-baik saja. Terlebih lagi aku mempunyai keluarga yang tidak jauh dari
pondok. Rumah nenekku hanya berjarak 15 menitan kira-kira dengan kendaraan
bermotor.
Masih berstatus sebagai santri pindahan, aku pun memasuki
ruang santri kelas 2. Mereka satu tahun lebih dulu berada di pondok ini.
Hari-hariku di pondok baru ini terasa berjalan sangat cepat.
Mungkin karena aku sudah sangat terbiasa dengan suasana pondok. Hingga aku pun
tiba di hari kelulusan MTs dengan begitu banyak mendapat pengalaman baru. Terutama pondok ini sering mengadakan lomba dan mengutus santrinya untuk ikut lomba
keluar pondok. Aku sangat senang sering mendapat kepercayaan dari ustad, senior
dan teman-teman. Tidak, tidak hanya mengikuti hal-hal seperti ceramah dan
mengaji. Aku juga mencoba hal baru seperti tampil drama, musik, seni, sastra dan
lain-lain. Sangat menyenangkan.
Dengan pondok yang sebesar ini, tidak ada kata puas untuk
mengadakan lomba. Banyak alternatif untuk pengadaan lomba lain. Santri butuh
banyak pengalaman untuk berkompetisi dalam banyak cabang dan berbagai macam karakter
lawan. Seperti itu mungkin yang pondok kira.
Jadi tidak hanya ada lomba antar kelas, juga ada lomba antar
asrama, lomba antar konsulat, lomba antar pondok, lomba se-kabupaten, lomba
se-provinsi, lomba antar pulau juga lomba selevel nasional.
Sangat puas --hingga sampai kalian tidak bisa mengikuti semuanya sekaligus.
Dan aku pun tetap melanjutkan sekolahku di sini.
Masa-masa Aliyah kujalani. Sudah lumayan senior di pondok.
Akhirnya diberi pengalaman baru untuk berorganisasi. Hal baru untuk melatih
rasa tanggung jawab dengan beban kepengurusan.
Dan waktu terus berjalan, hingga hari kelulusan Aliyah. Tahun
2013.
Aku menikmati keseharianku berada di sini. Dan mungkin pondok
ini benar jodohku. Walau bukan jodoh untuk selamanya.
Tamat Aliyah, aku harus mencoba mencari jodohku yang lain.
Jodoh baru. Jodoh yang lebih hebat yang akan membimbingku menjadi lebih baik
dari sebelumnya.
Aku hendak ke universitas negeri terkenal di Indonesia --Aku menulis ini di halaman binderku.
Saat
itu ada pendaftaran bidik misi online. Tidak perlu menunggu lama, santri
kelas 3 sudah sibuk mengurusi berkas-berkas yang menjadi syarat mengikuti
pendaftaran. Saat itu aku memilih dua universitas negeri terkenal di Sumatera.
Saat pengumuman, aku tidak lolos. Aku tidak berjodoh dengan
sekolah tinggi negeri mungkin.
Aku pun daftar online mengikuti tes untuk ke Madinah.
Tapi hasil pengumuman ini baru akan diumumkan tahun depannya. Aku butuh
persiapan lain.
Aku juga akan mengikuti tes ke Mesir. Ke al-Azhar. Aku ingin
masuk ke Universitas Islam tertua di dunia itu.
Mulailah aku mengikuti berbagai bimbel dan juga belajar lebih
giat, sebelum akan menghadapi tes yang salah satunya akan diadakan di
Palembang.
Tes itu akan dilaksanakan selasai dari Haflah pondok, setelah
kelulusan dari pesantren. Namun tiba-tiba jadwal hari pelaksanaan tesnya
diundur. Aku memilih untuk pulang ke rumah dulu.
Saat sebentar lagi tiba ke jadwal tes baru itu, diberitakan
di webnya bahwa pelaksanaan tes ke Mesir dibatalkan! Kami tidak
berjodoh.
Aku tidak punya persiapan masuk universitas lain lagi.
Menganggur untuk menunggu hasil tes Madinah yang belum pasti dan baru akan
muncul tahun depan itu adalah konyol.
Saat itu kami berjumlah 23 orang yang hendak ikut tes ke
Mesir. Beberapa orang ternyata sudah punya persiapan lain. Kami pun berpisah.
Aku bersama satu temanku memilih untuk mengabdi di salah satu pondok Qur’an di
Lampung.
Berjalan 2 setengah bulan di Lampung, datang tawaran dari
temanku di Yaman untuk ke sana. Aku diberi link yang bisa membantu
membawaku agar bisa ke sana. Aku pun segera memulai mempersiapkan
berkas-berkasku seperti terjemah ijazah dan membuat paspor.
Di tengah kepengurusan berkasku ke Yaman, aku dikagetkan lagi
oleh berita yang mengatakan bahwa akan ada keberangkatan ke Mesir tahun itu.
Bimbang yang mana yang harus kupilih, aku memutuskan untuk kembali ke
keinginanku sebelumnya yaitu ke Mesir. Aku sangat berharap bahwa aku dan Mesir
berjodoh.
Dan tampaknya kami benar-benar berjodoh.
23 Desember 2013 aku berangkat dari Jakarta dan tiba besok
paginya di Kairo.
Sebuah nikmat yang luar biasa bisa menimba ilmu di sini. Bumi
Kinanah. Negeri para Nabi. (Aku pernah menulis lebih lengkap tentang
keberangkatan ini tahun lalu. Klik di sini kalau kalian ingin membacanya).
Dari 23 orang yang dulu hendak berangkat, hanya 11 darinya
yang berjodoh dengan Mesir. Dan sekarang sudah 2 tahun lebih kami di sini.
Sekarang aku Cuma ingin berdoa;
Semoga aku bisa benar berjodoh dengan Mesir ini. Dan menyelami
ilmu-ilmu al-Azharnya.
Semoga aku bisa berjodoh dengan kehidupan di sini. Dan menjadi
pribadi yang lebih baik lagi.
Semoga aku bisa berjodoh denganmu di sini. Ehh. Haha.
Kalian juga. Kalian juga pasti punya jodoh kehidupannya
masing-masing bukan?. Jangan takut dengan siapa jodoh kalian. Gagal dengan jodoh yang
ini, mungkin itu bukan jodohmu. Percaya saja bahwa sudah disiapkan jodoh
yang terbaik untuk kita. Dan untuk bertemu dengan sebenarnya jodoh yang baik
itu mungkin tidak selalu dengan jalan yang enak, ada skenario khusus yang sudah
Allah rajut untuk masing-masing kita di dunia ini, walau harus mendapatkannya
dengan penuh pengorbanan.
Uhuk. Sok bijak. Haha.
Dari cerita panjangku kali ini, semoga bisa diambil baiknya
jika ada, dan maaf apabila ada kata-kata yang salah. Inilah cerita kehidupan
jodohku.
Kalian juga punya jalan cerita sendiri. Jodohnya sendiri. Jodoh hidupnya sendiri.
Intinya, semoga kita berjodoh. Wkwk.
Udah dulu. Itu aja. Sampai berjumpa dengan tulisan-tulisan
absurdku selanjutnya~ ^^
0 komentar:
Posting Komentar