2021. Di momen awal tahun baru gini, biasanya
banyak orang yang akan memikirkan kembali resolusinya
untuk satu tahun ke depan. Mulai dari merencanakan hal-hal seru,
menyusun list perjalanan ke tempat asing, planning keuangan untuk target masa depan,
atau sekedar melanjutkan catatan tahun lalu
yang belum sempat terealisasi.
Aku pun begitu.
Tapi sebelumnya, mau lihat ke belakang sebentar.
Di
arsip tulisan 2020, atau bahkan lebih lama sebelum itu saat masih kuliah S1.
Sebagai mahasiswa yang jiwa adventure-nya masih menggebu-gebu, aku punya
keinginan lanjut ke jurusan yang nggak linier dengan ilmu agama, S2
di Eropa. Untuk mengejar passion yang mungkin kurang pas kalo dicari
di negeri Timur Tengah.
Jadi
setelah lulus pada 2019 lalu, udah mulai nyusun rencana untuk bisa berangkat ke
sana. Awal tahunnya pulang ke Indonesia, beberapa bulan kemudian memantapkan bahasa
di Pare, lanjut tes TOEFL/IELTS di Ibu kota, trus daftar kuliah ke luar negeri.
Indah,
ya. Kalau emang bisa semulus itu.
Nyatanya
nggak.
Aku
pamit 'alatul dari Mesir di pertengahan Februari, mampir sebentar ke Saudi selama sebulan untuk
umrah. Pas pertengahan maret mau bertolak ke Indonesia, pandemi sudah menggila.
Aku bahkan tertahan di bandara Jeddah selama 3 hari karna penerbangan sudah
dibatasi. Situasinya sangat rumit saat itu (mungkin kapan-kapan akan kutulis juga
detail ceritanya).
Yups, seperti yang kita tau, Corona berhasil merusak banyak hal. Termasuk merubah 180o resolusi orang-orang yang mengira tahun ini akan diisi dengan wishlist yang tertulis… namun justru beralih ke; terpaksa isolasi diri & survive sehari-hari.
Kita termasuk yang ‘beruntung’
belum mati.
Empat
bulan dari Maret aku nggak ke mana-mana. Nggak keluar Bengkulu sama sekali. Alhamdulillah punya tabungan, uangnya kupakai untuk beli alat gambar digital, kemudian buka jasa
ilustrasi. Lumayan banget untuk ngisi kekosongan dan memenuhi hasrat hobi. Jadi
selama waktu berbulan-bulan pasca tamat tadi masih ada kegiatan, walau hanya dikerjakan di rumah.
Berita di bulan Juli, belum banyak perkembangan tentang menurunnya angka kematian sebab wabah
ini. Tapi aku pun nggak bisa gitu terus-terusan ngurung diri. Nggak bisa sok
idealis juga untuk maksa lanjut ke luar negeri. Jadi orang tua nyaranin untuk ambil
pasca sarjana di Bengkulu ini dulu. Fuh. Bismillah, akhirnya bulan itu
aku ikut ujian masuk IAIN Bengkulu, dan lulus.
Mulai
bulan depannya, Agustus, aku pun ninggalin Curup, pindah ke kota. Tinggal di pondok
pesantren yang jaraknya sekitar satu kilometer dari kampus. Dari awal daftar
kuliah aku udah mutusin, kalo aku nggak bakal ngekos pas pindah ke kota. Banyak
pertimbangan, salah satunya untuk menjaga lingkungan. Yah, aku ini tipe yang
kalo nggak tertuntut keadaan, agak susah untuk bergerak. Jadi, kalau tinggal di
kos, besar kemungkinan bakal jarang keluar kamar, banyakan tidurnya, atau
banyakan mainnya. Haha.
Beruntung
ayah ada kenalan ustadz yang punya pesantren, jadi aku bisa kuliah sambil ngajar di
sana. Dan ternyata mudir itu kakak seniorku di Pondok Sakatiga. Cuma kita nggak sempat ketemu pas sekolah, karna di tahun aku masuk, beliau satu tahun sebelumnya sudah
tamat.
So,
here I am. Keseharianku sekarang bisa dibilang hampir
full mengabdikan diri ke pesantren. Karna kuliah semester ini masih
dilaksanain online, dan hanya jum'at-sabtu.
Tapi
hal yang akhirnya kusyukuri sekarang, hikmah dari kejadian ini. Walau aku belum
bisa meneruskan niat ke luar negeri dan hanya menetap di kota yang nggak jauh
dari tempat asal, namun aku jadi bisa lebih mengenal daerah ini. Jujur, karna
sejak SD sudah merantau ke luar provinsi, terutama Sumatera Selatan, −pulang ke rumah hanya saat hari libur. Aku jadi lebih banyak mengenal Palembang
daripada Bengkulu. Bahkan bahasa pun sering tercampur karna udah susah
ngebedainnya.
Aku
lebih mengenal seluk beluk daerah dan budaya Sum-Sel daripada Bengkulu. Teman-teman
di Bengkulu, selain keluarga dan yang masih di Mesir, mungkin bisa dihitung jari. Karna emang sekuper
itu. Aku kalo pulang jarang bergaul ke luar-luar rumah, anaknya sok introver
banget emang.
Jadi
sekarang aku pun bersyukur bisa menetap lama di kota ini. Bisa lebih mengenal suasana
dan dapat teman-teman baru yang sedaerah. Karna mau nggak mau, kampung halaman, tempat
aku pulang ada di sini. Area dakwah yang pertama kali harus aku jelajahi pun
seharusnya di sini. Kalo seluruh putra daerah yang merantau nggak pulang ke
tempat asalnya, lalu dengan siapa lagi tempat itu berharap mendapat cakrawala
ilmu-ilmu lain yang ada di luar. Pengetahuan dunia ini terlalu luas kalau hanya
untuk disimpan sendiri tanpa disharing dengan orang dan lingkungan terdekat.
Hm. Mungkin
itu dulu ceritaku di awal tahun ini.
Sebagai resolusi 2021, semoga bisa jadi pribadi yang lebih baik lagi dalam segala
hal. Pergaulan, keilmuannya, kematangan usia, pengalaman dsbg. Lalu kalau memang sudah
tepat waktunya, semoga segera bertemu seseorang yang bisa diajak jalan beriringan
untuk berjuang bersama. Haha. Aamiin..
Semoga
juga, keinginan untuk menjelajah ke negeri luar ini belum pupus, tetap membara,
dan bisa direalisasikan di waktu mendatang. Yaa Rabb..
.
Kalo resolusimu?
0 komentar:
Posting Komentar