Senin, 17 Juli 2023

Sentilan


Akhir 2021 saya pergi menggantikan Mudir (pimpinan) untuk memenuhi undangan seminar pelatihan terjemah Al-Qur'an, lokasinya tidak jauh dari pondok. Selama kurang lebih 3 jam di sana, saya merasa tersentil sekali dengan ujaran Ust. Fuad Rosyidi selaku pemateri saat itu. Beliau menyampaikan bahwa ada yang salah dalam sistem pembelajaran Bahasa Arab di pesantren. Para santri selama 6 tahun mondok diberikan mufradat (kosa kata) dan muhadatsah/hiwar (percakapan) yang tidak terlalu penting. Dibilang seperti itu karena beliau mengingatkan lagi apa sih tujuan santri belajar Bahasa Arab dan kenapa penerapannya agak misleading.

Teringat saat nyantri dulu kami selalu berbangga (atau nyombong?) dengan mengatakan bahwa Bahasa Arab yang dipelajari di pondok adalah bahasa No. 1 bagi seorang Muslim karena merupakan bahasa Al-Qur'an, Kalam Allah yang diturunkan sebagai mukjizat bagi Nabi Muhammad saw. Bahasa Arab pun adalah bahasa yang akan dipakai malaikat Munkar-Nankir saat bertanya di alam kubur dan juga bahasa yang akan digunakan untuk berkomunikasi di surga kelak. Kita pun tahu Bahasa Arab adalah Bahasa Islam, sehingga jika hendak menjadi seorang ulama maka perlu mempelajari banyak ilmu tentang Islam yang mana referensi dari ilmu-ilmu tersebut kebanyakan tertulis dalam Bahasa Arab. Jadi pada asalnya, tujuan santri diharuskan belajar Bahasa Arab adalah agar ia bisa memahami Al-Qur'an, As-Sunnah dan kitab-kitab penunjang lainnya dalam mempelajari Islam. Keren, ya.

Tapi pada praktiknya, selama mondok kami lebih dituntut hafal kosakata barang-barang/benda di kamar tidur seperti "apa bahasa arabnya ranjang, kasur, lemari, jendela, dsbg", dibanding hafal kosakata ayat-ayat dalam Al-Qur'an atau musthalahat berbagai fan ilmu. Isi buku Bahasa Arab yang kami pelajari pun kebanyakan dipenuhi dengan percakapan seputar bandara, kelas, asrama, dsbg. 

Saat program Tahfidz pun para santri biasa menghafal Al-Qur'an secara langsung begitu saja --yang penting target setor hafalannya tercapai. Pada akhirnya, santri memang memiliki hafalan yang banyak, tapi ketika ditanya apa makna ayat yang ia hafal, tidak bisa menjawab. 
Lalu di mana letak pentingnya santri pintar bahasa arab, kalau Al-Qur'an sebagai pedoman utama seorang Muslim saja dia tidak tau? Inilah pertanyaan sekaligus pernyataan dari Ust. Fuad Rosyidi yang menyentil saya. 

Pulang dari seminar itu pun saya mencoba berbicara dengan Mudir dan meminta agar semester depan para santri bukan hanya sekedar menghafal Al-Qur'an saja tapi juga harus tau makna ayatnya. Alhamdulillah program terjemah ini sudah berjalan sejak tahun lalu, walau sebagai permulaan baru dicoba kepada para santri kelas akhir. Mereka diberi tambahan mata pelajaran "metode mudah cara terjemah Al-Qur'an". Mapel inipun rencananya pada semester depan juga akan dicoba kepada santri kelas 1 & 2.
pelatihan terjemah Al-Qur'an
Pertengahan 2023 ini saya pun tersentil lagi. Saat kini santri sedang liburan, beberapa guru berangkat bersama Mudir untuk tur studi ke beberapa pondok pesantren di Jawa. Salah satunya adalah ke Ponpes Mabda Islam di Sukabumi, Jawa Barat. Ponpes ini terkenal dengan agro wisatanya; ada pepohonan pinus, tempat latihan berkuda, memanah, juga ada pabrik tahu, mini zoo, peternakan, dll. Tempat yang cocok untuk belajar sekaligus jalan-jalan. Walau begitu, ekspektasi saya tidak terlalu tinggi saat ke sana, karena ponpes saya pun memiliki visi yang mirip melalui slogan "green campus"nya dalam bidang pariwisata.

Sejak memasuki gerbang Mabda Islam, kami disambut dengan ramah oleh Ust. Hudas selaku Humas pesantren, diajak keliling hingga diantar langsung ke penginapan yang terletak di tengah hutan pinus. Para santri yang sedang berkegiatan terlihat rapi dan sopan, tata letak pondoknya pun nampak sangat tersusun dan terencana. Masyaallah. Melihat hal itu menghilangkan kesan saya yang biasanya kalau main ke pesantren-pesantren lain suka melihat ketidakberaturan, seperti santri yang berlalu-lalang tanpa ekspresi melewati kita yang lebih tua (kalau dengan ustadznya sih bisa sampai nunduk, tapi kalau dengan orang yang tidak dikenal suka main lewat saja), ada juga santri yang terlihat semrawut dan tidak bersahabat, dsbg. Walau tentulah saya agak terkesan buru-buru men-judge itu karena cuma main sebentar dan belum melihat lebih jauh, tapi setidaknya di Mabda Islam saya mendapatkan kesan pertama yang baik. Sangat menyenangkan melihat para santri di sana yang cekatan dalam membantu atau ketika disuruh ustadznya langsung bergerak. Bahkan yang menemani dan mengajari kami saat berkuda dan memanah adalah santri. Mereka masih kecil tapi tampak pede dan mandiri. Saya terpana.
di depan gerbang Agro Park
Sore hari itu, kami akhirnya bisa berjumpa langsung dengan pimpinan pesantren yaitu Abi Sandi Nopiandi. Beliau terlihat muda sesuai usianya yang baru 33 tahun. Obrolan dibuka di atas hamparan tikar bernuansa alam karena memang kami bercengkrama di antara pepohonan pinus yang menjulang tinggi. Udara sedang sejuk-sejuknya. Obrolan kecil dibuka, lalu dimulai dengan prakata dari Mudir kami selaku tamu yang berkunjung, selanjutnya giliran kami meminta Abi Sandi untuk menyampaikan sepatah/dua patah kata nasihat.

Sama dengan tadi, saya sebenarnya tidak terlalu mengharapkan akan mendapat penyampaian apa-apa selain mungkin akan ada 1 atau 2 hal yang bisa kami pelajari dan bawa pulang; seperti perbedaan sistem pembelajaran, dll. Yah, sebagaimana biasa obrolan studi bandinglah. Tapi saya ternyata salah besar. Saya salah mengira bahwa pimpinan pesantren yang masih muda sudah pasti kalah jauh ilmunya dibanding dengan kyai-kyai lain yang sudah berumur dan terasa berwibawa. Kenyataannya walau Abi Sandi berbicara dan menggunakan subjek "al-faqir" --sebagai bentuk merendahkan diri, semakin panjang beliau berbicara malah semakin saya terpesona dengan apa yang disampaikan.

Konteksnya memang kami sebagai peminta nasihat, namun ternyata beliau tidak memberi nasihat-nasihat biasa yang terkesan "mujamalah" saja, malah beliau tidak sungkan memberi nasihat yang menyentil langsung. Sebagai info, pesantren kami adalah pesantren berbasis Tahfidz yang memiliki program mencetak santri-santri penghafal Al-Qur'an. Sebagai pesantren yang masih merintis karena baru berusia 3 tahun, tentulah kami banyak berkiblat pada pesantren-pesantren lainnya yang memiliki program yang sama di bidang tahfidz. Dan beliau langsung menyinggung hal itu.

Betul bahwa beberapa lama ini sekolah/lembaga pendidikan yang memiliki program tahfidz telah menjadi tren tersendiri yang digandrungi para orang tua untuk memasukkan anaknya ke sana. Dengan dalih bahwa anak merupakan investasi akhirat, dan memiliki anak yang Hafidz Al-Qur'an adalah salah satu cara agar orang tuanya bisa masuk surga melalui "jalur undangan" karena mendapat syafa'at dari Al-Qur'an yang anaknya hafal dan pelajari. Bahkan dalam hadits riwayat Imam Hakim, orang tua juga akan mendapatkan penyematan mahkota mulia di atas kepalanya di akhirat --ini pun biasanya secara simbolis masuk dalam rangkaian seremonial acara wisuda tahfidz, wali santri akan duduk lalu disematkan mahkota kebanggan oleh wisudawan diiringi dengan isak tangis, tanda haru bahagia. Hingga ssemakin yakinlah orang tuanya bahwa keluarga mereka akan termasuk sebagai Ahlul Qur'an.

Keinginan mewujudkan anak menjadi seorang Hafidzul Qur'an pun makin ramai lagi dengan adanya program-program beasiswa bagi anak yang hafal Al-Qur'an, seperti bebas biaya SPP, saat lulus mendapat jalur khusus untuk masuk lembaga tertentu, ada juga perlombaan seperti MTQ yang berhadiah besar jika juara, bahkan disambut juga oleh stasiun TV dengan mengadakan perlombaan hafalan Al-Qur'an sejak cilik. 
Al-Qur'an pun secara tidak langsung tampak menjadi sebuah industri yang menguntungkan. Maka makin marak lah program Tahfidz di mana-mana.

Lebih jauh lagi, muncul pula standarisasi keshalihan (??) dari masyarakat terhadap orang yang hafal Al-Qur'an/ yang bergelar Al-Hafidz/ah. Padahal hafal Qur'an bukanlah patokan utama untuk menilai keshalihan seorang Muslim. Kita sendiri pun mungkin pernah melihat bahkan mengenal beberapa orang yang hafal Al-Qur'an namun ternyata sifatnya bertolak belakang dengan apa yang dihafal. Padahal idealnya orang yang hafal Qur'an itulah yang paling tau apa yang Allah inginkan melaui kalam-Nya tersebut. Idealnya.

Maka dalam penyampaian beliau, Abi sandi mengatakan bahwa pola pendidikan saat ini harus diubah dan diperbaiki. Bahwa Al-Qur'an jangan cuma sibuk dihafal terus menerus hingga lupa esensi utamanya. Yaitu Al-Qur'an selain dibaca & dihafal, lebih utama lagi ialah diamalkan & disyiarkan syariat yang terkandung di dalamnya. Hendaknya kita mencontoh para Shahabat seperti saat ayat larangan khamr turun, botol khamr yang mereka sedang pegang langsung dibuang. Pun para Shahabiyah ketika ayat tentang perintah berhijab sampai kepada mereka, mereka langsung bangkit mengambil kain tirai rumahnya lalu menjadikannya kerudung. Sebegitu cepatnya mereka bergerak dalam mengamalkan perintah Al-Qur'an walau tidak hafal seluruh penggalan ayat tersebut. Kenyataan yang terbalik pada saat ini, ketika seorang Muslimah yang sudah tau bahkan hafal ayat perintah berhijab justru berkilah "kita mah yang penting jilbab-in hati dulu". Like, what??

Begitulah fenomena saat ini, terpenting hafal dulu ayatnya, soal mengamalkan bisa nanti-nanti dan biarlah "nafsi-nafsi" saja.
bersama Abi Sandi di tengah hutan pinus
Pada intinya, di tengah kerusakan umat yang sudah stadium 4, pesantren dan wali santri saat ini jangan hanya berfokus atau menekan santrinya untuk menghafal saja. Anak-anak harus difahamkan bahwa menghafal Al-Qur'an bukan untuk mengharap ridha manusia atau untuk berbangga diri mendapat gelar Al-Hafidz/ah dan dibanggakan pondok atas hafalan sekian juznya. Tapi kita menghafal karena berharap mendapat ridha-Nya Allah swt. "Di hadapan manusia banyak hafalan, apakah di hadapan Allah juga dimuliakan?" singgung Abi Sandi.
Jangan sampai menjadi seperti kisah seorang Mujahid di medan perang yang ditolak masuk surga karena ternyata ia berjuang agar dianggap sebagai Syuhada'.

Beliau menambahi, saat beliau berkunjung ke Al-Bahjah, pesantren asuhan Buya Yahya, dalam kurikulum di sana adalah santri tidak dibebani menghafal Qur'an lagi jika sudah berusia 12 tahun. Kalau mau menghafal silakan di usia sebelumnya atau sebelum baligh, karena saat berusia 12 santri hanya akan diajarkan ilmu-ilmu syariat. Kalau mau lanjut menghafal silakan nanti saat sudah berusia 20 tahun itupun karena motivasi sendiri bukan dipaksa pesantren. Ini bertujuan agar santri lebih fokus mendalami ilmu kesyariatan yang lebih penting dibanding sekedar menghafalnya.

Beliau juga menyinggung kenapa begitu banyaknya pesantren di Indonesia namun tidak menjadi solusi dalam menyelesaikan permasalahan bangsa. Jawabannya adalah karena anak-anak belajar hanya untuk menjawab soal-soal ujian bukan menjawab persoalan kehidupan. Ada juga pertanyaan kenapa santri lulusan pesantren bisa lebih "parah/liar" dari lulusan SMA. Yaitu karena santri sering menganggap tinggal di pesantren seperti "penjara suci" dengan seabrek peraturan-peraturan di dalamnya yang ketat, hingga ketika mereka keluar pesantren menjelma menjadi harimau lapar yang siap menerkam semua yang dilarang. Pelajaran yang didapat selama di pondok pun tidak membekas, apalagi dijadikan prinsip hidupnya. Ini pun sebuah fenomena. Adanya pesantren malah bisa merusak citra Islam di masyarakat? Jangan sampai.

Selanjutnya kita diminta untuk memahami betul makna ayat ke-2 dari surat Al-Baqarah, "Kitab (Al-Qur'an) tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa." Yang menunjukkan bahwa bersifat ragu terhadap Al-Qur'an adalah tidak boleh apalagi hingga menyalahi isinya. Mungkin itulah alasan mengapa Allah meletakkan ayat ini di bagian awal Al-Qur'an. Karena kita harus menamatkan/memahami ayat itu dulu secara yakin baru bisa lanjut ke ayat-ayat berikutnya. Hingga kalau nanti bertemu dengan ayat-ayat yang terkesan "ekstrem" tidak langsung men-cap radikal, pun tidak akan pilah-pilih ayat yang dia suka saja, dsbg. Jadi sebagai guru jangan cuma berfokus dalam membenarkan tajwid bacaan santri "hei itu makhorijul hurufnya ga pas, dengungnya kurang, dll" tapi substansi ayatnya malah tidak pernah diperdalam.

Sentilan selanjutnya dari Abi Sandi tentang konsep pendidikan yang hilang di pondok pesantren saat ini, yaitu konsep pendidikan dari Allah kepada para Rasul, salah satunya berternak/menggembala. Kita tahu bahwa semua Rasul itu menggembala, dan tentu itu ada alasannya. Karena faktanya dari menggembala itu akan dilatih kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial seseorang. Maka kalau bisa coba praktikkan di pesantren. Kebanyakan pesantren saat ini sangat memanjakan para santrinya; makan tinggal datang ke dapur bawa piring, baju langsung antar saja ke laundry, buang sampah ada petugasnya, dll. Santri cuma diminta menghafallll~ saja. Pendidikan ilahiyyah-nya pun hilang. Tidak ada pendidikan kemandirian & pendidikan perjuangannya, yang mana itu malah menciptakan santri yang tidak memiliki mental seorang pejuang seperti santri zaman dulu di masa melawan penjajahan. Dengan hanya bermodal bambu runcing, santri dulu siap turun ke medan perang walau melawan para penjajah yang bersenjata api. Namun karena mentalnya sudah terbiasa susah & terlatih untuk berjuang, mereka tetap berani maju dan melawan.

Maka, kita harus membangkitkan kembali mental mujahid seperti itu di generasi saat ini. Tidak hanya berkutat dengan menghafal & duduk di kelas saja, tapi santri juga harus bangun dan berusaha untuk serba mandiri. Kita mesti meihat bagaimana pendidikan yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad saw itu sangat luar biasa. Rasulullah terlahir sebagai anak yatim, masa bayinya dititipkan untuk menyusu di desa yang jauh dari Mekkah selama bertahun-tahun, pun ketika kembali ke pangkuan Sang Ibu tak lama kemudian juga meninggalkannya hingga menjadi anak yatim piatu. Lanjut diasuh oleh Sang Kakek yang kemudian juga meninggalkannya, lalu Sang Paman yang selalu melindungi di masa awal beliau berdakwah juga meninggalkannya, pun disusul oleh Sang Istri tercinta di saat beliau masih terpukul setelah kehilangan pamannya. Bertubi-tubi kepahitan hidup Allah berikan kepada Rasul, tapi atas kuasa-Nya justru itu yang membuat beliau kuat hingga berhasil menegakkan panji Islam di muka bumi. Allahu Akbar!

Lanjut, ya.

Abi Sandi juga mengingatkan untuk selalu bersabar dalam berdakwah. Rasul selaku manusia yang sempurna; tampan, kaya, berakhlak mulia, keturunan bangsawan saja saat berdakwah tetap difitnah dan dihina, apalagi kita yang sangat faqir ini. Dan jangan pernah merasa paling baik, paling berkontribusi, paling berjasa "ah itu ada karena saya", dsbg. Karena rasa ujub, riya' merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya, yang bisa menyebabkan semua amal kita hilang tak bersisa. 
Cukup cari ridha Allah saja, maka akan terbentang berbagai solusi dari semua masalah yang dimiliki. Karena jelas ayatnya bahwa Allah akan membersamai orang yang berbuat kebaikan. Mengurusi pesantren itu kebaikan, maka tidak perlu khawatir. Kalau kita jalan dikawal KOPASSUS saja merasa aman, yakin tidak ada yang berani mengganggu, apalagi yang mengawalnya adalah Allah. Maka tak perlu gentar, Allah bersama kita yang berjuang mensyiarkan agama-Nya. Kita harus membangun mental "tak takut" dalam berdakwah. Mesti punya ghirah perjuangan seperti perkataan Buya Hamka, "Jika ghirah telah hilang dari hati, gantinya hanya satu, yaitu kain kafan 3 lapis. Sebab kehilangan ghirah sama saja dengan mati."

Jadi pesan Abi Sandi, jangan mudah menyerah. Cukup cari ridha Allah saja, maka solusi akan selalu ada. Allah yang janji. Kalau mencari ridha manusia, maka cuma pusing yang didapat. Oleh karena itu beliau bilang "kalau ada yang stress karena mengurus pesantren, jangan-jangan karena dia masih mengharap ridhonya manusia!" makjleb.
Saya pun sangat merasa tersentil. Nampaknya selama ini memang masih ada pengharapan ini-itu dari manusia, hingga masih banyak mengeluhnya jika ada permasalahan di pesantren. 
Nastaghfiruka, yaa Rabb.

Terakhir dalam tulisan ini --aslinya banyak lagi yang beliau sentil-- adalah semangat dalam membangun peradaban Islam. Jangan muluk-muluk ingin meminta lebih dari yang dipunya saat ini, baiknya buktikan dulu bahwa kita mampu. Istilah beliau "Jangan meminta otoritas, bangunlah kapasitas". Bagaimana bisa bercita punya pesantren yang besar kalau baru mengurus 100 santri saja banyak ngeluhnya. Padahal untuk membangun peradaban, yang akan kita hadapi bukan hanya anak belum baligh atau masih remaja saja. Tapi juga para orang tua, lansia dan yang beragam suku juga bahasa.

Masyaallah, luar biasa sekali sore itu mendengar nasihat-nasihat beliau. Satu persatu yang saya yakini bahwa itu benar sekarang tersisa malunya saja setelah disentil habis-habisan. Menunjukkan bahwa apa yang selama ini kami perjuangkan masih jauh sekali dibanding perjuangan orang lain. 

Saya sangat bersyukur kemarin jadi ikut pergi tur studi dan mendapatkan nasihat yang menyentil ini. Bahwa inilah yang saya cari, bukan cuma retorika saling memuji atau mencari validasi, tapi justru lebih butuh sentilan-sentilan yang ternyata lebih terpatri di hati dan memunculkan lagi semangat untuk berjuang dan berbakti. Bismillah. Allahul musta'an bagi kita semua yang selalu berjuang. 




 
biz.