Cairo - 21 juli 2014 merupakan hal yang tak akan kulupakan. Itu
adalah tanggal dimana aku memulai langkah awal mempelajari skill baru dalam
kehidupanku yang dari dulu memang aku sangat ingin mempelajarinya.
Belajar fotografi. Yup, itulah hal yang aku inginkan. Ketertarikanku berawal dari melihat foto-foto alam yang tersebar di internet. Aku kagum melihat foto-foto itu yang terlihat sangat indah. Dan juga aku selalu terharu melihat foto-foto masa kecil dulu yang membawa rasa nostalgia. Yaitu momen-momen dimana aku wisuda TK, tertawa dan lain-lain. Awalnya hanya sebatas itu saja. Kemudian saat kelas 2 Madrasah Aliyah (MA) aku mulai berani membawa kamera poket ke pesantren. Posisiku yang saat itu menjabat sebagai salah satu kru tabloid pondok dan sekretaris organisasi pelajar yang memberanikanku dan juga karena minimnya acara-acara kami yang terdokumentasi, dikarenakan sepondok itu cuma ada satu kamera - yg memang terlihat bagus - yg boleh kami pinjam dan itu tidak leluasa.
Belajar fotografi. Yup, itulah hal yang aku inginkan. Ketertarikanku berawal dari melihat foto-foto alam yang tersebar di internet. Aku kagum melihat foto-foto itu yang terlihat sangat indah. Dan juga aku selalu terharu melihat foto-foto masa kecil dulu yang membawa rasa nostalgia. Yaitu momen-momen dimana aku wisuda TK, tertawa dan lain-lain. Awalnya hanya sebatas itu saja. Kemudian saat kelas 2 Madrasah Aliyah (MA) aku mulai berani membawa kamera poket ke pesantren. Posisiku yang saat itu menjabat sebagai salah satu kru tabloid pondok dan sekretaris organisasi pelajar yang memberanikanku dan juga karena minimnya acara-acara kami yang terdokumentasi, dikarenakan sepondok itu cuma ada satu kamera - yg memang terlihat bagus - yg boleh kami pinjam dan itu tidak leluasa.
Sejak acara pertama yang ada di pondok saat aku kelas 2 MA itu aku
sudah mulai memotret. Bermula dari sembunyi-sembunyi dan akhirnya
terang-terangan – hingga aku kelas tiga, kamera itu tidak pernah disita selama
aku yang memegangnya – tanpa ada satu ustad pun yang menegur. Aku pikir ustad-ustad
yang melihatnya senang-senang saja selagi itu yang bersangkutan dengan kegiatan
pondok. Aku benar-benar memanfaatkan kesempatan itu dengan terus memotret
kegiatan-kegiatan yang ada.
Pawai santri per-konsulat mengelilingi desa (2011) |
Dan aku pun akhirnya tamat dan melanjutkan ceritanya di Kairo,
Mesir ini.
Aku pikir di Mesir ini aku hanya akan membaca kitab-kitab turats saja
selama 4 tahun hingga selesai. Ternyata tidak. Aku menemukan hal yang sudah
lama ini aku senangi. Aku melihat banyak kakak-kakak senior yang bukan hanya
belajar kitab tapi juga mengabadikan cerita-cerita yang ada di Mesir ini. Dan
foto-foto mereka indah!. Aku kagum. Mereka punya kamera yang bagus-bagus – dan
aku malah meninggalkan kamera poketku satu-satunya itu di rumah karna aku pikir handphoneku
sudah cukup bagus untuk mengabadikan momen-momenku disini. Hh.
Kesan pahit yang aku alami saat aku sedang sangat-sangat tertarik
dengan fotografi itu, saat aku mencoba memberanikan diri untuk mencoba sendiri mengambil
gambar dengan kamera besar yang mereka punya. Sedihnya, aku tidak diperbolehkan
meminjamnya, bahkan pegang saja tidak dikasih. ‘Nanti rusak. Kamu kan nggak tau
apa-apa. Ntar basing pencet lagi’ katanya. Aku hanya bisa menggerutu dalam
hati. ‘Sial. Dasar pelitt’.
Nah, sejak saat itu aku merasa aku harus mempelajari itu. Berawal
dari stalking foto-foto mereka di facebook, aku jadi tahu kalau
mereka mempelajari itu disini. Mereka belajar dengan komunitas fotografer
mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang di Mesir. Nama komunitasnya itu Indonesian
Photographic Society in Cairo atau sering disingkat IPSC.
Keinginanku yang sudah lama itu pun akhirnya mendapat sambutan.
Melalui fanspage FB IPSC – yang sudah aku follow – aku pun tahu
kalau mereka sedang membuka pendaftaran kepada siapapun yang ingin belajar
fotografi. Tak menyia-nyiakan hal tersebut, aku pun langsung mendaftar dan
diterima.
Jadilah sejak saat itu aku memulai ceritaku dalam dunia
per-fotografi-an ini.
0 komentar:
Posting Komentar