"AKU BETAH DI PONDOK, TAPI AKU GA SUKA DIMARAH-MARAH!" Teriak seorang santri di depan saya. Mak Deg.
"Oke. Ustaz dengar apa yang kamu omongin. Ga perlu teriak-teriak." Saya coba membuat santri itu bicara lebih tenang karena hari sudah malam dan sunyi, tidak enak kalau dikira ada apa oleh tetangga pesantren.
***
18 Agustus 2024 lalu akhirnya pesantren yang saya dan keluarga kelola mulai kedatangan santri, satu orang. Alhamdulillah. Sebagai pesantren baru kemarin sore yang berlokasi di tengah kebun kopi dan hutan, promosi pendaftarannya pun mendadak dan cuma dua bulan, ada satu anak yang menjadi santri ini sudah patut disyukuri. Walau, ya, di luar ekspektasi.
Sebenarnya ada 3 calon santri lainnya. Dua di antara mereka bahkan sudah bertemu saya langsung. Yang pertama sudah menunjukkan minat, tapi sepulang dari bertemu malah lost contact. Kabar Terakhir katanya pindah ke Jawa. Yang kedua melalui pendaftaran online, saat kita beri informasi terkait tanggal masuk pesantren di grup pendaftar, tapi no respond. Akhirnya menghubungi via japri dan ternyata kata walinya sudah dimasukkan ke pesantren yang lain. Yang ketiga bahkan sudah langsung datang melihat lokasi pesantren. Ayahnya setuju, tapi anaknya tidak minat. Begitulah~
Satu santri ini berusia 13 tahun, masuk sebagai murid 1 SMP. Program di pesantren kami memang cuma menerima anak laki-laki untuk jenjang pendidikan SMP/SMA.
Cerita orang tuanya, dia sudah dimasukkan pesantren sejak kelas 3 SD. Jadi sudah terbiasa mondok, tapi pindah-pindah. Terakhir itu dia kabur dan dua bulan kemudian keenakan menganggur (tidak belajar) hanya berdiam di rumahnya di ladang. Mereka dapat info pesantren kami melalui teman ayah saya yang saya juga kenal sejak kecil dulu. Sebagai orang tua yang memikirkan masa depan anaknya, akhirnya si anak dipaksa ditawarkan masuk pesantren lagi. So, here he is.
Kami lanjut mengobrol sedikit tentang latar belakang keluarga santri. Berawal dari melihat isi data formulir pendaftaran santri yang tidak cocok dengan lampiran KTP orang tuanya, saya jadi sadar bahwa si ibu yang datang mendaftarkan si santri adalah ibu sambungnya, alias istri baru bapaknya. Ibu kandungnya sudah pergi dan membawa adiknya. Walau niat awal cuma ingin memvalidasi data, tapi jadi sedikit menyesal karena saya menanyakan hal yang berkemungkinan menyinggung. Tapi ternyata ada hikmahnya juga.
Dari percakapan itu saya pun mengetahui bahwa si ibu punya anak kandung sendiri yang dititipkan dengan budenya di Lampung. Sudah dua tahun dia di sana, dan rencana si ibu ingin diajak ke tempat bapaknya yang baru. Anaknya setuju untuk pindah sekolah tapi tidak mau belajar kalau bukan di pesantren. Saya berpikir, kenapa tidak sekalian saja ikut masuk pesantren sini. Biar santri yang sudah masuk tidak sepi sendirian. "Boleh, Pak Ustaz?" Ibunya antusias. Saya sih senang. Memang niat awalnya mau menerima 10-15 santri. Tapi masalahnya adalah anak itu masih SD.
"SD kelas berapa, bu?"
"Lima, Pak Ustaz."
Saya berpikir lagi.
Yang saya renungkan pertama adalah bagaimana menyeimbangkan materi pelajaran anak kelas 1 SMP dengan 5 SD, karena gurunya baru saya sendiri. Kalau materi disamakan takutnya ada ketimpangan pemahaman pelajaran, tapi kalau dibedakan kok ya ribet.
Setelah berpikir sebentar lagi, akhirnya saya menyanggupi. Toh, cuma selisih dua tahun juga. Insyaallah masih bisalah disamakan saja materi belajarnya. Meskipun di balik pertimbangan itu saya masih memiliki kekhawatiran yang lain. Singkat cerita, santri angkatan pertama kami akhirnya berjumlah dua orang. Kakak beradik beda ibu, yang belum bertemu sama sekali sebelumnya. Si adik pun menyusul 3 pekan kemudian setelah dijemput dari Lampung.
Saya sempat memprediksi akan ada awkward moment antara mereka berdua karena baru ini bertemu satu sama lain. Ternyata justru tampak akrab, langsung main dan ketawa bareng, dll. Rasanya sedikit lega.
Sebulan dari situ, tepatnya pekan lalu, di tengah siang si adik sakit. Mengeluh pusing. Sorenya saya langsung inisiatif ngerokin. Siapa tau masuk angin, karena memang cuaca beberapa hari ini lumayan dingin. Malamnya juga saya memberikan freshcare dan obat pusing yang tersedia di kotak P3K.
Besok paginya tampak baikan. Tapi siangnya mengeluh lagi, sakit perut. Saya himbau untuk oleskan freshcare di tempat yang sakit. Sore sempat baikan lagi, tapi malam sakit lagi. Begini terus, siklus berulang antara sudah enakan, sakit perut, pusing lagi, dst.
Saya jadi berpikir kemungkinan dia ini bukan sakit fisik, tapi "malarindu". Akhirnya saya izinkan dia untuk menelepon ibunya, karena sempat beberapa kali juga terdengar menangis di kamar. Mudah-mudahan setelah itu lebih enakan. Seusai menelepon, katanya ibunya akan datang menjenguk besok, hari Jumat. Saya izinkan.
Besoknya seharian dia mondar-mandir, sesekali kalau sudah capek dia memilih duduk di teras asrama. Kelihatan sekali menunggu ibunya datang. Tapi sampai sore masih belum terlihat tanda-tanda. Ditambah lagi sore itu hujan turun tipis-tipis. Saya menduga kuat bahwa orangtuanya tidak jadi datang. Dan seperti yang diduga juga, dia menangis. Air matanya bahkan lebih deras dari hujan. Pasti lah sangat kecewa.
Lalu besoknya saya dapat kabar kalau orang tua mereka baru bisa mengunjungi hari Senin.
Malam sabtu itu seusai kegiatan di masjid ba'da Isya, saya langsung pulang, mengunci pintu rumah, dll. Bersiap istirahat. Baru saja mau merebahkan badan, terdengar suara gaduh di depan rumah. Seperti suara jerit tangisan? Spontan saya buka lagi semua yang sudah terkunci tadi untuk mengecek apa yang sedang terjadi.
Terlihat si adik ditemani Oom penjaga pondok datang dari area gerbang. Suara tangisan terdengar dari sana. Saya pun mendekat untuk mengonfirmasi.
"Kenapa, Om?"
"Ini mau kabur, taz!" Astaga.
Si adik masih menjerit menangis. Mungkin menyesali kenapa sampai tertangkap? Lalu dari belakang menyusul abangnya membawa pakaian si adik yang berserak dari gerbang pesantren. Mukanya tampak marah, kecewa karena tindakan si adik. Biar lebih nyaman untuk diajak mengobrol, saya ajak mereka untuk duduk dulu di teras asramanya.
"Jadi, ada apa ini. Kenapa kamu mau kabur?" Kepala saya dipenuhi keheranan dan... tidak habis pikir, apa yang sebenarnya ia pikirkan saat mau kabur. Apa dia tidak menyadari bahwa pesantren ini ada di tengah hutan? Jalanannya terjal, pun cuma ada 1 tiang listrik dengan lampu bertenaga surya di tanjakan. Sisanya benar-benar gelap. Belum lagi ada banyak anjing dari pondokan-pondokan tempat orang menunggu kebun kopinya. Bagaimana kalau nanti dia diserang anjing karena dikira mau maling kopi? Saya gemes, tapi berusaha menanggapi ini dengan lebih tenang.
Saya lanjut menanyakan apakah dia tidak betah di pesantren? Padahal katanya yang maksa mau mondok adalah dia sendiri. Dia hanya menangis, tidak menjawab. Makin gemes. Saya pun mulai ganti cara pendekatan dengan menyeramahinya sekaligus bercerita, flashback ke masa dulu saat saya pernah merasa tidak betah mondok dan memberinya solusi baik yang pernah saya lakukan. Tapi sepanjang ceramah itu terlihat dia lebih banyak tidak mendengar dan masih terus-terusan menangis. Bak gledek, tiba-tiba dia memotong kalimat saya yang belum tampak ada titiknya sambil berteriak, "AKU BETAH DI PONDOK, TAPI AKU GA SUKA DIMARAH-MARAH! HUHUHU..." Saya terdiam. Teriakannya seolah sudah dari tadi ingin dia keluarkan untuk mematahkan kesotoyan saya yang menyangka dia tidak betah.
Saya tarik nafas sebentar. Sebenarnya jengkel dibentak anak kecil seperti itu, karena perasaan dari tadi saya bicaranya baik-baik dan tidak sedang memarahi dan menggunakan nada tinggi. Setelah saya sendiri tenang, saya coba juga menenangkannya sambil memberi pemahaman.
"Memang siapa yang marahin kamu? Seingat ustaz, selama sebulan di sini kamu ga pernah ustaz marahin. Kalau salah pasti diingatkan baik-baik. Betul, kan?" Saya ingin mengonfirmasi lagi, khawatir ini salah paham dengan saya.
"ABANG ITU MARAH-MARAHIN AKU TERUS!" Dia masih jawab dengan berteriak. Hadeh.
"Marahin gimana, memang?" Saya lanjut memastikan.
"AKU SALAH DIKIT LANGSUNG DIMARAHIN! KEPALAKU DARI KEMARIN PUSING KARENA DIA DORONG! HUHUHU..."
Saya spontan lihat ke abangnya. Mencoba bertabayun.
"Cuma diginiin aja, Taz." Abangnya menjawab sambil mempraktekkan bagaimana cara dia me"nowel" kepala. Cuma didorong sedikit saja dengan jari. Hm.
"Tapi serius kamu sering marah-marahin dia?"
"Gimana nggak, Taz. Dia tu manja, suka caper, ngeselin." Mata si abang merah dan melihat adiknya dengan bombastic side eye, tangannya mengepal.
"Sabar," saya pula kali ini menenangkan si abang. Hahh.
Ternyata sakitnya dia selama ini sakit dari dalam karena menahan hati, kesal dengan si abang yang dirasa semena-mena kepadanya.
Setelah mendengar cerita itu saya sedikit menyesali kenapa dia pendam cerita ini sendiri. Padahal sejak awal saya sudah bonding mereka, karena saya pun sudah berniat menjadikan pesantren ini memiliki lingkungan yang nyaman, yang baik, yang kalau ada masalah bisa didiskusikan bersama dan diselesaikan melalui komunikasi. Dari situ harapannya mereka akan terbuka untuk datang bercerita, tapi sayangnya opsi curhat itu belum jadi pilihan. Saya perlu introspeksi diri lagi. Mungkin saya belum menjadi tempat yang nyaman untuk mereka mau berbagi rasa.
Pada intinya, si adik merasa tidak betah bukan karena jauh dari orang tua atau kondisi pesantren, tapi karena tingkah abangnya yang emosian. Walau memang sifat si abang seperti itu juga karena sudah kesal dengan tingkah adiknya yang dirasa manja, suka caper, dan bikin kesal. Lingkaran setan.
Saya pun perlu menengahi.
Saya jelaskan pelan-pelan bahwa yang pasti keduanya harus mengaku salah. Masing-masing mementingkan egonya saja tanpa berkaca diri. Meski memang dua-duanya punya alasan untuk marah. Jadi saya tutup khutbah no jutsu malam itu dengan mencoba membuat mereka berbesar hati.
Pada kenyataannya mereka berdua baru bersama satu bulan. Faktanya juga mereka berasal dari dua keluarga yang berbeda, tentu beda juga cara didikannya. Si abang terbiasa dididik keras, sejak kecil sudah dimasukkan pesantren. Si adik juga baru kini mendapat perhatian setelah sebelumnya ditinggal di Lampung, mungkin masih terbawa sifat ingin dimanja. Perlu saling memaklumi.
Saya juga menambahi bahwa di pesantren, santri bukan hanya harus beradaptasi dengan rindu atau jauhnya jarak dengan orang tua. Tapi mereka juga dituntut untuk beradaptasi dengan santri lainnya yang berasal dari daerah dan lingkungan yang berbeda. Dari latar belakang tersebut pasti akan ada menimbulkan perseteruan, kesalahpahaman, ada ketidaksukaan, dll. Santri juga harus belajar itu. Kalau sekarang mereka yang masih berdua saja sudah sulit bergaul, apalagi tahun-tahun berikutnya saat santri makin banyak, kan.
Pahami bahwa pesantren sebagai miniatur kehidupan. Masalah selama mondok pasti akan ada terus dan ada-ada saja. Ya masalah rindu rumah lah, pusing dengan pelajaran, kesal dengan peraturan, kurang uang jajan, ribut dengan teman, dan banyak lagi lainnya. Pun kehidupan di luar nanti masalah juga akan selalu ada. Berarti masalah adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, maka harus belajar menghadapi, bukan diselesaikan dengan kabur, tapi cari solusinya. Belajar dari masalah. Bla bla bla...
Yah, lumayan berbusa juga menyeramahi mereka. Si adik sudah berhenti menangis. Antara sudah menyesali perbuatannya atau sudah bosan dengar saya ceramah. Yang penting masalah ini harus tuntas segera karena saya juga sudah mengantuk. Haha. Mereka pun saya suruh masuk ke asrama lagi, istirahat.
Malam itu pun nampaknya tercatat sebagai salah satu momen yang "berkesan" di hidup saya sekarang. Seorang pengasuh dengan dua santrinya, pondok yang baru berjalan dua bulan ternyata sudah ada saja problem yang harus ditengahi. Menarik bagaimana saya nanti menghadapi puluhan atau ratusan santri di tahun mendatang. Mudah-mudahan saja bisa tetap istiqomah di jalur mendidik dengan hati yang tenang, terbuka dengan pendapat, dll, hingga bisa mengambil kebijakan yang seadil mungkin. Aamiin.
***
Oh iya, mungkin ke depan saya akan lebih sering menulis blog bertema pesantren seperti ini, untuk mencatat momen-momen penting selama mengasuh. Selain untuk menjadi kenangan juga siapa tau ada hikmah yang bisa diambil pembaca dari cerita random dari sudut pandang pengasuh pesantren pemula~
***
Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI.
Komunitas ini juga dibimbing langsung oleh Mas Agus "Magelangan" Mulyadi. Setiap pekannya selalu dapat materi baru untuk memperbaiki tulisan. Lumayan ilmu mahal tapi gratis.
Terima kasih karena komunitas ini saya jadi termotivasi lagi untuk menulis blog. Yang ingin join juga silakan DM akun IG @komunitas_lfi, adminnya ramah dan fast respond 👌
Updated: