Senin, 26 Januari 2015

Kisahku Dalam Per-Fotografi-an (II)





Saat itu tanggal 21 juli 2014, hari pertama aku bersama teman-teman sekelas terbaik lainnya mengikuti kelas belajar fotografi basic bersama IPSC. Aku mengawalinya dengan ikut kelas basic IPSC terlebih dahulu.

Di hari pertama itu kami diberi materi seputar fotografi. Aku akhirnya tahu ternyata fotografer-fotografer itu bukan hanya sekedar menjepret dan boom  bisa bagus seperti itu. Aku benar-benar memulai pelajaran fotografi ini dari nol. Dari mengenal tombol-tombol yang ada di kamera, mengenal tata cara penggunaan dan merawatnya hingga mencoba langsung. Aku masih ingat sekali hal yang pertama aku coba yaitu melatih titik fokus pada objek yang dituju. Objeknya adalah 4 buah batre yang disusun berbaris dan kami diminta untuk meletakkan titik fokusnya di setiap batre itu secara bergilir. Dalam hal yang sangat sederhana itu aku sudah kesusahan. Aku benar-benar pesimis saat itu. Selain karna itu adalah yang pertama kalinya bagiku, juga aku adalah murid yang paling muda diantara mereka. Diantara mereka juga bahkan sudah ada yang sudah biasa menggunakan kamera sebelumnya. Mereka ikut hanya ingin memperdalaminya lagi.


Di hari keduanya kami langsung hunting. Hhh. Aku agak khawatir sebenarnya. Dengan waktu yang hanya sesingkat itu mengenal seputar fotografi bagaimana mungkin aku langsung bisa. Dan aku benar-benar teruji dengan hunting itu. Ternyata mengatur kamera sebelum menjepret itu benar-benar butuh kesabaran untuk aku yang pemula ini. Dan satu hal lagi, saat itu bulan Ramadhan dan kami pastinya puasa dan juga itu lagi musim panas puncak. Wow. Lengkap sudah ujian itu. Hunting dalam keadaan yang seperti itu kami memulainya dari pagi dengan tempat tujuan awal Masjid Ibn Thulun kemudian Hadiqah Azhar hingga malam harinya.

Yang paling berkesan bagiku di hari itu adalah dimana saat aku hendak mengambil foto macro tapi karna sudah saking laparnya tanganku pun gemetaran sehingga kesusahan untuk mendapatkan fokus. Hah. Kupikir aku harus istirahat dulu. Disana kami mengambil gambar hingga malam harinya. Salah satu tujuan kenapa sampai malam yaitu untuk mengambil night shot yang indah yang hanya bisa saat malam hari.

Hari-hari terus berlanjut dengan diisi pelajaran editing foto dengan aplikasi photoshop dan pastinya kami juga harus menerapkannya pada foto-foto yang telah kami ambil sebelumnya. Dan pada tahap akhirnya di kelas basic tersebut, foto-foto kami akan dievaluasi dan diminta untuk saling memberi komentar di foto kami yang telah kami upload di facebook masing-masing.

Dan semuanya kami jalani hingga selesai dan kami pun dinyatakan lulus untuk kelas basic. Alhamdulillah. (Lihat foto-fotonya di sini)

Pemberian ijazah kelulusan kelas basic
Dan ceritaku dalam IPSC belum selesai hanya sampai disitu saja. Kami pun melanjutkan ke kelas selanjutnya yang menurutku jauh lebih menantang. Di kelas itu kami dituntut untuk mengabadikan momen-momen yang ada di Bumi Kinanah ini. Di kelas ini juga kami jadi belajar tentang bersosialisasi dengan masyarakat pribumi.

Tapi jujur, aku senang dengan kelas yang dinamakan Human Interest ini. Mengabadikan momen itu merupakan hal yang paling aku senangi dalam dunia fotografi. Ya walau aku akui sulit ternyata untuk mendapatkan momen-momen indah itu. Hehe.

Dengan target 100 foto yang sudah ditetapkan dari IPSC untuk melewati kelas ini, aku pun mulai menyisir berbagai macam tempat untuk mencari momen-momen tersebut. Dan yes! Aku pun berhasil menyelesaikannnya walau maling-malingan dengan waktuku yang saat itu masih belajar di Markaz Lughah.

Selesai mengumpulkan 100 foto tersebut – yang pastinya harus disetujui terlebih dahulu oleh mentor kami dengan kelayakannya – kami pun melanjutkan proses editing yang dibagi dengan 50 color (lihat fotonya di sini) dan 50 black and white (lihat fotonya di sini). Kami bahkan sampai menginap di rumah salah satu mentor untuk mengejar deadline pengumpulan akhir 100 foto itu. 


Dan di hari selanjutnya kami pun mengadakan evaluasi keseluruhan. Usai semuanya diberi kritik dan saran, kami pun juga diminta untuk menguji foto-foto kami di kancah nasional yaitu di web komunitas fotografer Indonesia. Di kelas HI memang agak berbeda dalam penilaian lulus atau tidaknya. Kalau sebelumnya kami harus menguploadnya di FB dan saling berkomentar disana. Kali ini kami diminta menguploadnya di web komunitas fotografer Indonesia skala nasional dan yang berkomentar bukan hanya dari kelas kami saja. Syarat dinyatakan lulusnya yaitu dari 20 foto yang diupload disana, masing-masing di setiap foto harus mencapai nilai yang sudah ditargetkan mentor atau pengecualian untuk yang fotonya dipilih admin web sebagai ‘Foto Pilihan Editor’ atau yang disingkat dengan FPE. Tanpa melewati kedua hal itu kami tidak akan lulus di kelas ini. Aku alhamdulillah selain foto mencapai nilai yang ditargetkan juga salah satu foto mendapatkan FPE. Yang lain juga rata-rata semuanya seperti itu.

Salah satu ciri mendapatkan FPE adalah
terdapat bintang di atas foto


Sampai tahap disitu kami semua sudah melewatinya dengan perjuangan yang panjang.

Huft.

Dan perjuangan kami masih berlanjut.

Setelah semua itu kami pun diminta untuk membuat artikel yang bertema  "Hai IPSC! ini karyaku!" untuk melanjutkan ke kelas selanjutnya yaitu kelas Olah Digital - yang disingkat menjadi kelas Oldig – dan kelas pengajar. Hingga cerita ini ditulis, aku baru saja menyelesaikan dan mengirimkan artikel itu tadi kepada sang mentor.

Semoga bermanfaat.





Kisahku Dalam Per-Fotografi-an



Cairo - 21 juli 2014 merupakan hal yang tak akan kulupakan. Itu adalah tanggal dimana aku memulai langkah awal mempelajari skill baru dalam kehidupanku yang dari dulu memang aku sangat ingin mempelajarinya. 

Belajar fotografi. Yup, itulah hal yang aku inginkan. Ketertarikanku berawal dari melihat foto-foto alam yang tersebar di internet. Aku kagum melihat foto-foto itu yang terlihat sangat indah. Dan juga aku selalu terharu melihat foto-foto masa kecil dulu yang membawa rasa nostalgia. Yaitu momen-momen dimana aku wisuda TK, tertawa dan lain-lain. Awalnya hanya sebatas itu saja. Kemudian saat kelas 2 Madrasah Aliyah (MA) aku mulai berani membawa kamera poket ke pesantren. Posisiku yang saat itu menjabat sebagai salah satu kru tabloid pondok dan sekretaris organisasi pelajar yang memberanikanku dan juga karena minimnya acara-acara kami yang terdokumentasi, dikarenakan sepondok itu cuma ada satu kamera - yg memang terlihat bagus - yg boleh kami pinjam dan itu tidak leluasa.

Sejak acara pertama yang ada di pondok saat aku kelas 2 MA itu aku sudah mulai memotret. Bermula dari sembunyi-sembunyi dan akhirnya terang-terangan – hingga aku kelas tiga, kamera itu tidak pernah disita selama aku yang memegangnya – tanpa ada satu ustad pun yang menegur. Aku pikir ustad-ustad yang melihatnya senang-senang saja selagi itu yang bersangkutan dengan kegiatan pondok. Aku benar-benar memanfaatkan kesempatan itu dengan terus memotret kegiatan-kegiatan yang ada.

Pawai santri per-konsulat mengelilingi desa (2011)

Dan aku pun akhirnya tamat dan melanjutkan ceritanya di Kairo, Mesir ini.

Aku pikir di Mesir ini aku hanya akan membaca kitab-kitab turats saja selama 4 tahun hingga selesai. Ternyata tidak. Aku menemukan hal yang sudah lama ini aku senangi. Aku melihat banyak kakak-kakak senior yang bukan hanya belajar kitab tapi juga mengabadikan cerita-cerita yang ada di Mesir ini. Dan foto-foto mereka indah!. Aku kagum. Mereka punya kamera yang bagus-bagus – dan aku malah meninggalkan kamera poketku satu-satunya itu di rumah karna aku pikir handphoneku sudah cukup bagus untuk mengabadikan momen-momenku disini. Hh.

Kesan pahit yang aku alami saat aku sedang sangat-sangat tertarik dengan fotografi itu, saat aku mencoba memberanikan diri untuk mencoba sendiri mengambil gambar dengan kamera besar yang mereka punya. Sedihnya, aku tidak diperbolehkan meminjamnya, bahkan pegang saja tidak dikasih. ‘Nanti rusak. Kamu kan nggak tau apa-apa. Ntar basing pencet lagi’ katanya. Aku hanya bisa menggerutu dalam hati. ‘Sial. Dasar pelitt’.

Nah, sejak saat itu aku merasa aku harus mempelajari itu. Berawal dari stalking foto-foto mereka di facebook, aku jadi tahu kalau mereka mempelajari itu disini. Mereka belajar dengan komunitas fotografer mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang di Mesir. Nama komunitasnya itu Indonesian Photographic Society in Cairo atau sering disingkat IPSC.

Keinginanku yang sudah lama itu pun akhirnya mendapat sambutan. Melalui fanspage FB IPSC – yang sudah aku follow – aku pun tahu kalau mereka sedang membuka pendaftaran kepada siapapun yang ingin belajar fotografi. Tak menyia-nyiakan hal tersebut, aku pun langsung mendaftar dan diterima.

Jadilah sejak saat itu aku memulai ceritaku dalam dunia per-fotografi-an ini.

>> Bersambung..

Selanjutnya disini


 
biz.