Senin, 17 Juli 2023

Sentilan


Akhir 2021 saya pergi menggantikan Mudir (pimpinan) untuk memenuhi undangan seminar pelatihan terjemah Al-Qur'an, lokasinya tidak jauh dari pondok. Selama kurang lebih 3 jam di sana, saya merasa tersentil sekali dengan ujaran Ust. Fuad Rosyidi selaku pemateri saat itu. Beliau menyampaikan bahwa ada yang salah dalam sistem pembelajaran Bahasa Arab di pesantren. Para santri selama 6 tahun mondok diberikan mufradat (kosa kata) dan muhadatsah/hiwar (percakapan) yang tidak terlalu penting. Dibilang seperti itu karena beliau mengingatkan lagi apa sih tujuan santri belajar Bahasa Arab dan kenapa penerapannya agak misleading.

Teringat saat nyantri dulu kami selalu berbangga (atau nyombong?) dengan mengatakan bahwa Bahasa Arab yang dipelajari di pondok adalah bahasa No. 1 bagi seorang Muslim karena merupakan bahasa Al-Qur'an, Kalam Allah yang diturunkan sebagai mukjizat bagi Nabi Muhammad saw. Bahasa Arab pun adalah bahasa yang akan dipakai malaikat Munkar-Nankir saat bertanya di alam kubur dan juga bahasa yang akan digunakan untuk berkomunikasi di surga kelak. Kita pun tahu Bahasa Arab adalah Bahasa Islam, sehingga jika hendak menjadi seorang ulama maka perlu mempelajari banyak ilmu tentang Islam yang mana referensi dari ilmu-ilmu tersebut kebanyakan tertulis dalam Bahasa Arab. Jadi pada asalnya, tujuan santri diharuskan belajar Bahasa Arab adalah agar ia bisa memahami Al-Qur'an, As-Sunnah dan kitab-kitab penunjang lainnya dalam mempelajari Islam. Keren, ya.

Tapi pada praktiknya, selama mondok kami lebih dituntut hafal kosakata barang-barang/benda di kamar tidur seperti "apa bahasa arabnya ranjang, kasur, lemari, jendela, dsbg", dibanding hafal kosakata ayat-ayat dalam Al-Qur'an atau musthalahat berbagai fan ilmu. Isi buku Bahasa Arab yang kami pelajari pun kebanyakan dipenuhi dengan percakapan seputar bandara, kelas, asrama, dsbg. 

Saat program Tahfidz pun para santri biasa menghafal Al-Qur'an secara langsung begitu saja --yang penting target setor hafalannya tercapai. Pada akhirnya, santri memang memiliki hafalan yang banyak, tapi ketika ditanya apa makna ayat yang ia hafal, tidak bisa menjawab. 
Lalu di mana letak pentingnya santri pintar bahasa arab, kalau Al-Qur'an sebagai pedoman utama seorang Muslim saja dia tidak tau? Inilah pertanyaan sekaligus pernyataan dari Ust. Fuad Rosyidi yang menyentil saya. 

Pulang dari seminar itu pun saya mencoba berbicara dengan Mudir dan meminta agar semester depan para santri bukan hanya sekedar menghafal Al-Qur'an saja tapi juga harus tau makna ayatnya. Alhamdulillah program terjemah ini sudah berjalan sejak tahun lalu, walau sebagai permulaan baru dicoba kepada para santri kelas akhir. Mereka diberi tambahan mata pelajaran "metode mudah cara terjemah Al-Qur'an". Mapel inipun rencananya pada semester depan juga akan dicoba kepada santri kelas 1 & 2.
pelatihan terjemah Al-Qur'an
Pertengahan 2023 ini saya pun tersentil lagi. Saat kini santri sedang liburan, beberapa guru berangkat bersama Mudir untuk tur studi ke beberapa pondok pesantren di Jawa. Salah satunya adalah ke Ponpes Mabda Islam di Sukabumi, Jawa Barat. Ponpes ini terkenal dengan agro wisatanya; ada pepohonan pinus, tempat latihan berkuda, memanah, juga ada pabrik tahu, mini zoo, peternakan, dll. Tempat yang cocok untuk belajar sekaligus jalan-jalan. Walau begitu, ekspektasi saya tidak terlalu tinggi saat ke sana, karena ponpes saya pun memiliki visi yang mirip melalui slogan "green campus"nya dalam bidang pariwisata.

Sejak memasuki gerbang Mabda Islam, kami disambut dengan ramah oleh Ust. Hudas selaku Humas pesantren, diajak keliling hingga diantar langsung ke penginapan yang terletak di tengah hutan pinus. Para santri yang sedang berkegiatan terlihat rapi dan sopan, tata letak pondoknya pun nampak sangat tersusun dan terencana. Masyaallah. Melihat hal itu menghilangkan kesan saya yang biasanya kalau main ke pesantren-pesantren lain suka melihat ketidakberaturan, seperti santri yang berlalu-lalang tanpa ekspresi melewati kita yang lebih tua (kalau dengan ustadznya sih bisa sampai nunduk, tapi kalau dengan orang yang tidak dikenal suka main lewat saja), ada juga santri yang terlihat semrawut dan tidak bersahabat, dsbg. Walau tentulah saya agak terkesan buru-buru men-judge itu karena cuma main sebentar dan belum melihat lebih jauh, tapi setidaknya di Mabda Islam saya mendapatkan kesan pertama yang baik. Sangat menyenangkan melihat para santri di sana yang cekatan dalam membantu atau ketika disuruh ustadznya langsung bergerak. Bahkan yang menemani dan mengajari kami saat berkuda dan memanah adalah santri. Mereka masih kecil tapi tampak pede dan mandiri. Saya terpana.
di depan gerbang Agro Park
Sore hari itu, kami akhirnya bisa berjumpa langsung dengan pimpinan pesantren yaitu Abi Sandi Nopiandi. Beliau terlihat muda sesuai usianya yang baru 33 tahun. Obrolan dibuka di atas hamparan tikar bernuansa alam karena memang kami bercengkrama di antara pepohonan pinus yang menjulang tinggi. Udara sedang sejuk-sejuknya. Obrolan kecil dibuka, lalu dimulai dengan prakata dari Mudir kami selaku tamu yang berkunjung, selanjutnya giliran kami meminta Abi Sandi untuk menyampaikan sepatah/dua patah kata nasihat.

Sama dengan tadi, saya sebenarnya tidak terlalu mengharapkan akan mendapat penyampaian apa-apa selain mungkin akan ada 1 atau 2 hal yang bisa kami pelajari dan bawa pulang; seperti perbedaan sistem pembelajaran, dll. Yah, sebagaimana biasa obrolan studi bandinglah. Tapi saya ternyata salah besar. Saya salah mengira bahwa pimpinan pesantren yang masih muda sudah pasti kalah jauh ilmunya dibanding dengan kyai-kyai lain yang sudah berumur dan terasa berwibawa. Kenyataannya walau Abi Sandi berbicara dan menggunakan subjek "al-faqir" --sebagai bentuk merendahkan diri, semakin panjang beliau berbicara malah semakin saya terpesona dengan apa yang disampaikan.

Konteksnya memang kami sebagai peminta nasihat, namun ternyata beliau tidak memberi nasihat-nasihat biasa yang terkesan "mujamalah" saja, malah beliau tidak sungkan memberi nasihat yang menyentil langsung. Sebagai info, pesantren kami adalah pesantren berbasis Tahfidz yang memiliki program mencetak santri-santri penghafal Al-Qur'an. Sebagai pesantren yang masih merintis karena baru berusia 3 tahun, tentulah kami banyak berkiblat pada pesantren-pesantren lainnya yang memiliki program yang sama di bidang tahfidz. Dan beliau langsung menyinggung hal itu.

Betul bahwa beberapa lama ini sekolah/lembaga pendidikan yang memiliki program tahfidz telah menjadi tren tersendiri yang digandrungi para orang tua untuk memasukkan anaknya ke sana. Dengan dalih bahwa anak merupakan investasi akhirat, dan memiliki anak yang Hafidz Al-Qur'an adalah salah satu cara agar orang tuanya bisa masuk surga melalui "jalur undangan" karena mendapat syafa'at dari Al-Qur'an yang anaknya hafal dan pelajari. Bahkan dalam hadits riwayat Imam Hakim, orang tua juga akan mendapatkan penyematan mahkota mulia di atas kepalanya di akhirat --ini pun biasanya secara simbolis masuk dalam rangkaian seremonial acara wisuda tahfidz, wali santri akan duduk lalu disematkan mahkota kebanggan oleh wisudawan diiringi dengan isak tangis, tanda haru bahagia. Hingga ssemakin yakinlah orang tuanya bahwa keluarga mereka akan termasuk sebagai Ahlul Qur'an.

Keinginan mewujudkan anak menjadi seorang Hafidzul Qur'an pun makin ramai lagi dengan adanya program-program beasiswa bagi anak yang hafal Al-Qur'an, seperti bebas biaya SPP, saat lulus mendapat jalur khusus untuk masuk lembaga tertentu, ada juga perlombaan seperti MTQ yang berhadiah besar jika juara, bahkan disambut juga oleh stasiun TV dengan mengadakan perlombaan hafalan Al-Qur'an sejak cilik. 
Al-Qur'an pun secara tidak langsung tampak menjadi sebuah industri yang menguntungkan. Maka makin marak lah program Tahfidz di mana-mana.

Lebih jauh lagi, muncul pula standarisasi keshalihan (??) dari masyarakat terhadap orang yang hafal Al-Qur'an/ yang bergelar Al-Hafidz/ah. Padahal hafal Qur'an bukanlah patokan utama untuk menilai keshalihan seorang Muslim. Kita sendiri pun mungkin pernah melihat bahkan mengenal beberapa orang yang hafal Al-Qur'an namun ternyata sifatnya bertolak belakang dengan apa yang dihafal. Padahal idealnya orang yang hafal Qur'an itulah yang paling tau apa yang Allah inginkan melaui kalam-Nya tersebut. Idealnya.

Maka dalam penyampaian beliau, Abi sandi mengatakan bahwa pola pendidikan saat ini harus diubah dan diperbaiki. Bahwa Al-Qur'an jangan cuma sibuk dihafal terus menerus hingga lupa esensi utamanya. Yaitu Al-Qur'an selain dibaca & dihafal, lebih utama lagi ialah diamalkan & disyiarkan syariat yang terkandung di dalamnya. Hendaknya kita mencontoh para Shahabat seperti saat ayat larangan khamr turun, botol khamr yang mereka sedang pegang langsung dibuang. Pun para Shahabiyah ketika ayat tentang perintah berhijab sampai kepada mereka, mereka langsung bangkit mengambil kain tirai rumahnya lalu menjadikannya kerudung. Sebegitu cepatnya mereka bergerak dalam mengamalkan perintah Al-Qur'an walau tidak hafal seluruh penggalan ayat tersebut. Kenyataan yang terbalik pada saat ini, ketika seorang Muslimah yang sudah tau bahkan hafal ayat perintah berhijab justru berkilah "kita mah yang penting jilbab-in hati dulu". Like, what??

Begitulah fenomena saat ini, terpenting hafal dulu ayatnya, soal mengamalkan bisa nanti-nanti dan biarlah "nafsi-nafsi" saja.
bersama Abi Sandi di tengah hutan pinus
Pada intinya, di tengah kerusakan umat yang sudah stadium 4, pesantren dan wali santri saat ini jangan hanya berfokus atau menekan santrinya untuk menghafal saja. Anak-anak harus difahamkan bahwa menghafal Al-Qur'an bukan untuk mengharap ridha manusia atau untuk berbangga diri mendapat gelar Al-Hafidz/ah dan dibanggakan pondok atas hafalan sekian juznya. Tapi kita menghafal karena berharap mendapat ridha-Nya Allah swt. "Di hadapan manusia banyak hafalan, apakah di hadapan Allah juga dimuliakan?" singgung Abi Sandi.
Jangan sampai menjadi seperti kisah seorang Mujahid di medan perang yang ditolak masuk surga karena ternyata ia berjuang agar dianggap sebagai Syuhada'.

Beliau menambahi, saat beliau berkunjung ke Al-Bahjah, pesantren asuhan Buya Yahya, dalam kurikulum di sana adalah santri tidak dibebani menghafal Qur'an lagi jika sudah berusia 12 tahun. Kalau mau menghafal silakan di usia sebelumnya atau sebelum baligh, karena saat berusia 12 santri hanya akan diajarkan ilmu-ilmu syariat. Kalau mau lanjut menghafal silakan nanti saat sudah berusia 20 tahun itupun karena motivasi sendiri bukan dipaksa pesantren. Ini bertujuan agar santri lebih fokus mendalami ilmu kesyariatan yang lebih penting dibanding sekedar menghafalnya.

Beliau juga menyinggung kenapa begitu banyaknya pesantren di Indonesia namun tidak menjadi solusi dalam menyelesaikan permasalahan bangsa. Jawabannya adalah karena anak-anak belajar hanya untuk menjawab soal-soal ujian bukan menjawab persoalan kehidupan. Ada juga pertanyaan kenapa santri lulusan pesantren bisa lebih "parah/liar" dari lulusan SMA. Yaitu karena santri sering menganggap tinggal di pesantren seperti "penjara suci" dengan seabrek peraturan-peraturan di dalamnya yang ketat, hingga ketika mereka keluar pesantren menjelma menjadi harimau lapar yang siap menerkam semua yang dilarang. Pelajaran yang didapat selama di pondok pun tidak membekas, apalagi dijadikan prinsip hidupnya. Ini pun sebuah fenomena. Adanya pesantren malah bisa merusak citra Islam di masyarakat? Jangan sampai.

Selanjutnya kita diminta untuk memahami betul makna ayat ke-2 dari surat Al-Baqarah, "Kitab (Al-Qur'an) tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa." Yang menunjukkan bahwa bersifat ragu terhadap Al-Qur'an adalah tidak boleh apalagi hingga menyalahi isinya. Mungkin itulah alasan mengapa Allah meletakkan ayat ini di bagian awal Al-Qur'an. Karena kita harus menamatkan/memahami ayat itu dulu secara yakin baru bisa lanjut ke ayat-ayat berikutnya. Hingga kalau nanti bertemu dengan ayat-ayat yang terkesan "ekstrem" tidak langsung men-cap radikal, pun tidak akan pilah-pilih ayat yang dia suka saja, dsbg. Jadi sebagai guru jangan cuma berfokus dalam membenarkan tajwid bacaan santri "hei itu makhorijul hurufnya ga pas, dengungnya kurang, dll" tapi substansi ayatnya malah tidak pernah diperdalam.

Sentilan selanjutnya dari Abi Sandi tentang konsep pendidikan yang hilang di pondok pesantren saat ini, yaitu konsep pendidikan dari Allah kepada para Rasul, salah satunya berternak/menggembala. Kita tahu bahwa semua Rasul itu menggembala, dan tentu itu ada alasannya. Karena faktanya dari menggembala itu akan dilatih kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial seseorang. Maka kalau bisa coba praktikkan di pesantren. Kebanyakan pesantren saat ini sangat memanjakan para santrinya; makan tinggal datang ke dapur bawa piring, baju langsung antar saja ke laundry, buang sampah ada petugasnya, dll. Santri cuma diminta menghafallll~ saja. Pendidikan ilahiyyah-nya pun hilang. Tidak ada pendidikan kemandirian & pendidikan perjuangannya, yang mana itu malah menciptakan santri yang tidak memiliki mental seorang pejuang seperti santri zaman dulu di masa melawan penjajahan. Dengan hanya bermodal bambu runcing, santri dulu siap turun ke medan perang walau melawan para penjajah yang bersenjata api. Namun karena mentalnya sudah terbiasa susah & terlatih untuk berjuang, mereka tetap berani maju dan melawan.

Maka, kita harus membangkitkan kembali mental mujahid seperti itu di generasi saat ini. Tidak hanya berkutat dengan menghafal & duduk di kelas saja, tapi santri juga harus bangun dan berusaha untuk serba mandiri. Kita mesti meihat bagaimana pendidikan yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad saw itu sangat luar biasa. Rasulullah terlahir sebagai anak yatim, masa bayinya dititipkan untuk menyusu di desa yang jauh dari Mekkah selama bertahun-tahun, pun ketika kembali ke pangkuan Sang Ibu tak lama kemudian juga meninggalkannya hingga menjadi anak yatim piatu. Lanjut diasuh oleh Sang Kakek yang kemudian juga meninggalkannya, lalu Sang Paman yang selalu melindungi di masa awal beliau berdakwah juga meninggalkannya, pun disusul oleh Sang Istri tercinta di saat beliau masih terpukul setelah kehilangan pamannya. Bertubi-tubi kepahitan hidup Allah berikan kepada Rasul, tapi atas kuasa-Nya justru itu yang membuat beliau kuat hingga berhasil menegakkan panji Islam di muka bumi. Allahu Akbar!

Lanjut, ya.

Abi Sandi juga mengingatkan untuk selalu bersabar dalam berdakwah. Rasul selaku manusia yang sempurna; tampan, kaya, berakhlak mulia, keturunan bangsawan saja saat berdakwah tetap difitnah dan dihina, apalagi kita yang sangat faqir ini. Dan jangan pernah merasa paling baik, paling berkontribusi, paling berjasa "ah itu ada karena saya", dsbg. Karena rasa ujub, riya' merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya, yang bisa menyebabkan semua amal kita hilang tak bersisa. 
Cukup cari ridha Allah saja, maka akan terbentang berbagai solusi dari semua masalah yang dimiliki. Karena jelas ayatnya bahwa Allah akan membersamai orang yang berbuat kebaikan. Mengurusi pesantren itu kebaikan, maka tidak perlu khawatir. Kalau kita jalan dikawal KOPASSUS saja merasa aman, yakin tidak ada yang berani mengganggu, apalagi yang mengawalnya adalah Allah. Maka tak perlu gentar, Allah bersama kita yang berjuang mensyiarkan agama-Nya. Kita harus membangun mental "tak takut" dalam berdakwah. Mesti punya ghirah perjuangan seperti perkataan Buya Hamka, "Jika ghirah telah hilang dari hati, gantinya hanya satu, yaitu kain kafan 3 lapis. Sebab kehilangan ghirah sama saja dengan mati."

Jadi pesan Abi Sandi, jangan mudah menyerah. Cukup cari ridha Allah saja, maka solusi akan selalu ada. Allah yang janji. Kalau mencari ridha manusia, maka cuma pusing yang didapat. Oleh karena itu beliau bilang "kalau ada yang stress karena mengurus pesantren, jangan-jangan karena dia masih mengharap ridhonya manusia!" makjleb.
Saya pun sangat merasa tersentil. Nampaknya selama ini memang masih ada pengharapan ini-itu dari manusia, hingga masih banyak mengeluhnya jika ada permasalahan di pesantren. 
Nastaghfiruka, yaa Rabb.

Terakhir dalam tulisan ini --aslinya banyak lagi yang beliau sentil-- adalah semangat dalam membangun peradaban Islam. Jangan muluk-muluk ingin meminta lebih dari yang dipunya saat ini, baiknya buktikan dulu bahwa kita mampu. Istilah beliau "Jangan meminta otoritas, bangunlah kapasitas". Bagaimana bisa bercita punya pesantren yang besar kalau baru mengurus 100 santri saja banyak ngeluhnya. Padahal untuk membangun peradaban, yang akan kita hadapi bukan hanya anak belum baligh atau masih remaja saja. Tapi juga para orang tua, lansia dan yang beragam suku juga bahasa.

Masyaallah, luar biasa sekali sore itu mendengar nasihat-nasihat beliau. Satu persatu yang saya yakini bahwa itu benar sekarang tersisa malunya saja setelah disentil habis-habisan. Menunjukkan bahwa apa yang selama ini kami perjuangkan masih jauh sekali dibanding perjuangan orang lain. 

Saya sangat bersyukur kemarin jadi ikut pergi tur studi dan mendapatkan nasihat yang menyentil ini. Bahwa inilah yang saya cari, bukan cuma retorika saling memuji atau mencari validasi, tapi justru lebih butuh sentilan-sentilan yang ternyata lebih terpatri di hati dan memunculkan lagi semangat untuk berjuang dan berbakti. Bismillah. Allahul musta'an bagi kita semua yang selalu berjuang. 




Sabtu, 30 Januari 2021

S2: Ekspektasi & Introspeksi

 

Sebulan −bahkan dua bulan terakhir bawaannya selalu pusing. Di kuliah sebagai pelajar, sudah masuk masa-masa UAS, jadi banyak dapet deadline tugas. Di pondok selaku pengajar, juga harus nyiapin semesteran santri: buat soal-soal dari beberapa pelajaran, ngawas, koreksi sekaligus salin nilai, dan evaluasi pembagian rapor. Dituntut multitasking.

Yah, sebenernya itu hal yang biasa di keseharian orang-orang secara umum. Tapi bagi aku yang dari dulu kebiasaan nyantai sibuknya cuma overthinking yang tanpa action, jadi kapan dikasih tugas bawaannya langsung pusing.

Tapi emang beneran, aku kayak baru sekarang ngerasain "gini ya kuliah". Bukan artinya kuliah di al-Azhar mudah, oh tentu saja tidak. Kalau seandainya mudah nggak mungkin banyak mahasiswa rasib ngulang semester berkali-kali including me. Maksudku lebih ke sistem kuliahnya. Kalo di Azhar, kita masuk kelas ya kayak di pesantren dulu aja. Cara belajarnya mirip. Masuk kelas, duduk (kalo dapet kursi) trus dengerin duktur ngejelasin (paham ataupun nggak). Pas jam dars selesai, bubar balik ke rumah. Simpel. Ujian pun sama kayak di pondok, jadi nggak kaget. Ada tes tulis (tahriri) berbentuk esai dan juga ada lisannya (syafahi). Bas. Yang killer itu pelajarannya.

Nah karna aku tuh tipe orang yang lebih milih buat mager-mageran kalo nggak dipaksa/terpaksa untuk bergerak ngerjain sesuatu, jadi yaa terbawa suasana kuliah yang "gitu-gitu" aja. Padahal sebagai mahasiswa, harus kreatif ngembangin diri. Aku udah tau di Azhar jarang banget mahasiswa diminta untuk buat bahts walau ada pelajarannya, Qo'atul bahts. Tapi ntah bodohnya dulu nggak tergerak untuk ikut kajian-kajian ilmiah, yang padahal di Masisir udah banyak komunitas belajarnya. Sombong banget, kan?

Eh tapi yang udah berlalu.. ya udah lah. Sisa penyesalannya saja~ Sekarang back to the topic.

Di tulisan sebelum ini aku udah cerita kalo aku akhirnya milih untuk lanjut S2 di Bengkulu kota. Itu setelah berusaha mengikhlaskan diri, karna nggak bisa egois memaksakan kehendak. Kuliahnya udah mulai dari Oktober tahun lalu sampe sekarang, via daring (Zoom & WA). Cuma sekali aja tatap muka itupun di masjid kompleknya bapak dosen bukan di kampus.

S2 sekarang aku ambil jurusan ahwal syakhsiyah atau dimaknai dengan Hukum Keluarga Islam (HKI). Karna dulu S1 di Mesir ambil Syari'ah Islamiyah (Syariat/Hukum Islam), aku kira HKI ini jurusan yang pelajarannya mirip, hanya lebih spesifik aja ke permasalahan keluarga. Dan emang cuma jurusan HKI ini yang nampaknya masih linier secara akademik. Program studi lain adanya Manajemen Pendidikan, PAI, Hukum Tata Negara, Filsafat, dll yang nampaknya jauh berbeda dari jurusan S1 dulu.

Jadi, oke bismillah aku pilih HKI.

Namun ternyata, jeng..jeng..jeng.. HKI ini di luar ekspektasi. Aku yang ngira pelajarannya akan seputar Fiqih wa maa hawlahu. Malah ternyata fokus pelajaran utamanya jauh selain itu. Yang banyak dipelajarin dari program studi ini adalah pembahasan undang-undang Peradilan Agama. Yups, hampir tiap mata kuliah kami selalu berkutat dengan pasal-pasal dan ayat-ayat perundang-undangan. 

Fuh. Inilah pentingnya check 'n recheck sebelum menentukan pilihan, bund. Aku mikirnya cetek banget waktu itu. Cuma sekedar main tafsir dari nama prodinya tanpa cari tau lebih jauh apa yang akan dipelajarin.

Jujur, aku dari dulu emang seneng ikut nonton orang ribut-ribut di TV terkait politik dan kepemerintahan. Seru aja bawaannya. Tapi aku juga orang yang selalu skip kalo udah masuk bahasan undang-undang dsbg. Semacam alergi tersendiri gitu kalo orang udah nyebutin "Jadi, di dalam pasal sekian ayat sekian, bla..bla..". Mendadak puyeng. Dan sekarang kena karma akibat suka skip2.

Jadilah selama semester pertama ini berusaha lumayan keras lah buat memahami dunia peradilan agama di Indonesia. Namun yah gitu. Karna dasar bawaannya nggak suka, jadi sampe sekarang juga masih meraba-raba maksud dari penjelasan materi yang disampein dosen. Tugas-tugas makalah pun seolah dibikin asal jadi aja. Nulis -> persentasi -> dan saat sesi pertanyaannya, bisa nggak bisa, mencoba menebak-nebak jawaban sebaik mungkin. 

Sebenernya kita juga belajar mata kuliah lain, yang bahkan jadi pelajaran inti sebagai mahasiswa S2 yaitu: penelitian.

Mungkin karna masa kuliahnya yang singkat, jadi dari semester satu pun udah belajar perihal teori, metodologi penelitian dan pendekatan-pendekatannya. Intinya sih diajarin gimana kerangka pemikiran yang benar (Eh, S1 juga udah belajar ini ya?). Dan aku nggak pernah merasa se"cupu" kayak sekarang rasanya. Aku emang suka nulis, tapi kalau diminta bikin makalah penelitian gitu, pusingnya bisa kayak tawaf, tujuh keliling. Mana otak makin ke sini makin susah diajak berpikir. Mulai bebal astaghfirullah. Apa karna pengaruh gap year setahun kemaren ya, otaknya udah keenakan diajak nyantuy.

Nggak kebayang kalo aku kemaren beneran kesampaian niat mau ke Inggris, trus rencana juga mau ambil S2 yang setahun aja. Padahal disuruh bikin makalah penelitian berbahasa Indonesia yang nggak serumit tesis gini aja kesel-kesel sendiri karna nggak paham. Emang suka nggak sadar diri orangnya.

Tapi mungkin inilah hikmah. Allah belum ngasih karena tau emang belum masanya, belum sampe ilmunya buat bisa ngimbangin di sana. Diminta banyak introspeksi diri dulu. Masih banyak banget yang harus dimatengin. 

Dan kalo memang rezekinya, insyaallah akan ada aja kan jalan yang terbentang. Semogaaa, Aamiin..

Dah itu aja postingan kali ini. Masih harus lanjut ngerjain UAS, tugas bikin mini proposal penelitian gitu. Kata dosen, ini buat pemanasan sebelum nyusun tesis tahun depan. Deadlinenya lusa. 

Aku kurang pede sih dengan hasil ujian pelajaran di semester ini, tapi doain yaa nilaiku aman. Haha. Makasih.


__________

bahts: makalah penelitian? 

dars: pelajaran

bas: cukup, itu doang



Sabtu, 02 Januari 2021

Here I Am



2021. Di momen awal tahun baru gini, biasanya banyak orang yang akan memikirkan kembali resolusinya untuk satu tahun ke depan. Mulai dari merencanakan hal-hal seru, menyusun list perjalanan ke tempat asing, planning keuangan untuk target masa depan, atau sekedar melanjutkan catatan tahun lalu yang belum sempat terealisasi.

Aku pun begitu. 

Tapi sebelumnya, mau lihat ke belakang sebentar.

Di arsip tulisan 2020, atau bahkan lebih lama sebelum itu saat masih kuliah S1. Sebagai mahasiswa yang jiwa adventure-nya masih menggebu-gebu, aku punya keinginan lanjut ke jurusan yang nggak linier dengan ilmu agama, S2 di Eropa. Untuk mengejar passion yang mungkin kurang pas kalo dicari di negeri Timur Tengah.

Jadi setelah lulus pada 2019 lalu, udah mulai nyusun rencana untuk bisa berangkat ke sana. Awal tahunnya pulang ke Indonesia, beberapa bulan kemudian memantapkan bahasa di Pare, lanjut tes TOEFL/IELTS di Ibu kota, trus daftar kuliah ke luar negeri.

Indah, ya. Kalau emang bisa semulus itu.

Nyatanya nggak.

Aku pamit 'alatul dari Mesir di pertengahan Februari, mampir sebentar ke Saudi selama sebulan untuk umrah. Pas pertengahan maret mau bertolak ke Indonesia, pandemi sudah menggila. Aku bahkan tertahan di bandara Jeddah selama 3 hari karna penerbangan sudah dibatasi. Situasinya sangat rumit saat itu (mungkin kapan-kapan akan kutulis juga detail ceritanya).

Yups, seperti yang kita tau, Corona berhasil merusak banyak hal. Termasuk merubah 180o resolusi orang-orang yang mengira tahun ini akan diisi dengan wishlist yang tertulis… namun justru beralih ke; terpaksa isolasi diri & survive sehari-hari. 

Kita termasuk yang ‘beruntung’ belum mati.

Empat bulan dari Maret aku nggak ke mana-mana. Nggak keluar Bengkulu sama sekali. Alhamdulillah punya tabungan, uangnya kupakai untuk beli alat gambar digital, kemudian buka jasa ilustrasi. Lumayan banget untuk ngisi kekosongan dan memenuhi hasrat hobi. Jadi selama waktu berbulan-bulan pasca tamat tadi masih ada kegiatan, walau hanya dikerjakan di rumah.

Berita di bulan Juli, belum banyak perkembangan tentang menurunnya angka kematian sebab wabah ini. Tapi aku pun nggak bisa gitu terus-terusan ngurung diri. Nggak bisa sok idealis juga untuk maksa lanjut ke luar negeri. Jadi orang tua nyaranin untuk ambil pasca sarjana di Bengkulu ini dulu. Fuh. Bismillah, akhirnya bulan itu aku ikut ujian masuk IAIN Bengkulu, dan lulus.

Mulai bulan depannya, Agustus, aku pun ninggalin Curup, pindah ke kota. Tinggal di pondok pesantren yang jaraknya sekitar satu kilometer dari kampus. Dari awal daftar kuliah aku udah mutusin, kalo aku nggak bakal ngekos pas pindah ke kota. Banyak pertimbangan, salah satunya untuk menjaga lingkungan. Yah, aku ini tipe yang kalo nggak tertuntut keadaan, agak susah untuk bergerak. Jadi, kalau tinggal di kos, besar kemungkinan bakal jarang keluar kamar, banyakan tidurnya, atau banyakan mainnya. Haha.

Beruntung ayah ada kenalan ustadz yang punya pesantren, jadi aku bisa kuliah sambil ngajar di sana. Dan ternyata mudir itu kakak seniorku di Pondok Sakatiga. Cuma kita nggak sempat ketemu pas sekolah, karna di tahun aku masuk, beliau satu tahun sebelumnya sudah tamat.

So, here I am. Keseharianku sekarang bisa dibilang hampir full mengabdikan diri ke pesantren. Karna kuliah semester ini masih dilaksanain online, dan hanya jum'at-sabtu.

Tapi hal yang akhirnya kusyukuri sekarang, hikmah dari kejadian ini. Walau aku belum bisa meneruskan niat ke luar negeri dan hanya menetap di kota yang nggak jauh dari tempat asal, namun aku jadi bisa lebih mengenal daerah ini. Jujur, karna sejak SD sudah merantau ke luar provinsi, terutama Sumatera Selatan, pulang ke rumah hanya saat hari libur. Aku jadi lebih banyak mengenal Palembang daripada Bengkulu. Bahkan bahasa pun sering tercampur karna udah susah ngebedainnya.

Aku lebih mengenal seluk beluk daerah dan budaya Sum-Sel daripada Bengkulu. Teman-teman di Bengkulu, selain keluarga dan yang masih di Mesir, mungkin bisa dihitung jari. Karna emang sekuper itu. Aku kalo pulang jarang bergaul ke luar-luar rumah, anaknya sok introver banget emang.  

Jadi sekarang aku pun bersyukur bisa menetap lama di kota ini. Bisa lebih mengenal suasana dan dapat teman-teman baru yang sedaerah. Karna mau nggak mau, kampung halaman, tempat aku pulang ada di sini. Area dakwah yang pertama kali harus aku jelajahi pun seharusnya di sini. Kalo seluruh putra daerah yang merantau nggak pulang ke tempat asalnya, lalu dengan siapa lagi tempat itu berharap mendapat cakrawala ilmu-ilmu lain yang ada di luar. Pengetahuan dunia ini terlalu luas kalau hanya untuk disimpan sendiri tanpa disharing dengan orang dan lingkungan terdekat.

Hm. Mungkin itu dulu ceritaku di awal tahun ini.

Sebagai resolusi 2021, semoga bisa jadi pribadi yang lebih baik lagi dalam segala hal. Pergaulan, keilmuannya, kematangan usia, pengalaman dsbg. Lalu kalau memang sudah tepat waktunya, semoga segera bertemu seseorang yang bisa diajak jalan beriringan untuk berjuang bersama. Haha. Aamiin..

Semoga juga, keinginan untuk menjelajah ke negeri luar ini belum pupus, tetap membara, dan bisa direalisasikan di waktu mendatang. Yaa Rabb..

.

Kalo resolusimu?


Minggu, 12 April 2020

'Alatul



Hari ini tepat dua bulan lalu meninggalkan Negeri Seribu Menara yang juga bisa kutulis sebagai negeri seribu kenangan: Mesir. Enam tahun di sana tentu bukan waktu yang sedikit. Banyak hal yang sudah dilakukan, teman-teman baru yang sudah seperti keluarga, keberhasilan melewati hal-hal luar biasa --di luar dugaan kadang-- dan momen-momen memorable di hampir setiap sudut ibu kotanya.

Walau mestinya kutulis ini di awal-awal kepulangan kemarin saat memorinya masih segar terekam. Tapi yaa better late than never, kan. Sayang kalo tentang ini nggak dituangkan di blog.

Awal 2020 dimulai dengan sesak. Membayangkan lepas dari lingkungan tempat aku tumbuh dewasa dan sudah terbiasa di sana --sungguh berat. Sebulan terakhir menjelang 'alatul  (istilah di Mesir bagi orang yang pulang dan tidak berniat kembali lagi) aku mulai lebih fokus memerhatikan jalan-jalan yang biasa kulalui beserta suasana yang ada. Gang sempit komplek Darrasah, luasnya Masjid Azhar, ramainya kendaraan selama jalan ke Hay Asyir, dinginnya bulan Januari, serunya nobar MU di kafe bawah rumah dan nyamannya tidur pagi selama musim dingin. Haha. 
Sembari itu yang selalu kupikirkan hanya "kapan lagi aku bisa menikmati hal ini". Karna bukan sebuah pertanyaan, jadi aku merasa tak perlu berlarut mencari jawabannya. Cuma doa saja yang aku panjatkan dengan lirih di saat take off pesawat Egypt Air menuju Saudi, "semoga di lain waktu punya rezeki ke negeri kinahah ini lagi".

Lalu hari Rabu, 12 Februari itu pun tiba.
Malam terakhir gagal kupakai untuk istirahat karena diluar perkiraan butuh waktu sampai subuh untuk menyelesaikan packing barang. Tapi keuntungannya aku bisa subuhan berjamaah di Masjid Azhar. Setelah shalat, di jalan pulang jadi sedikit sibuk merenung, entah berapa banyak waktu yang sudah kusia-siakan, lebih sering bersantai di rumah daripada talaqqi di ruwaq-ruwaq masjid ini.
Sebuah kesadaran yang mungkin tak bermakna lagi. 


Paginya aku pamit dengan teman-teman rumah karna harus ke Rumah Limas dulu (nama sekretariat kawan-kawan Sum-Sel) karna nanti berangkat bareng ke bandara Kairo dari sana. Yang paling berat ditinggalkan dari rumah adalah Simpus, kucing kampung yang sudah jadi anggota rumah sejak bulan puasa tahun lalu. Walau dia sering ngeselin karna suka sok-nggak-kenal kalo dipanggil saat sudah kenyang, tapi momen dia sering berdiam cari kehangatan ke atas kasurku sulit sekali dihilangkan. Jadi sebelum keluar, aku sempatkan dulu ambil foto dengannya dan dia entah ngapain  jadi ikut-ikutan nganter sampai depan pintu dengan memasang raut muka sedikit sedih. Hmm yaa mungkin dia merasa kehilangan. Kehilangan orang yang biasa beliin dia wiskas --tentunya.

Sekitar pukul dua siang aku dan teman-teman yang mau ikut nganter, berangkat dari Limas menuju bandara.

Walau sebulan terakhir jadi sedikit melow, tapi hari itu aku memutuskan sudah nggak mau terbawa suasana, aku ingin pulang dengan rasa bahagia. Tapi keinginan ini sedikit berat memang. Beberapa kawan nakal yang gelisah kenapa momen balik ini nggak ada rasa-rasa sedihnya, mulai menghasut dengan menyampaikan narasi-narasi sedih. Aku yang sudah tau trik basi ini --karna sebelumnya sering juga nganter senior/teman yang pulang-- nggak mau tergoda.

Sampai selesai foto-foto bareng di luar bandara aku masih nggak bergeming dan aku yakin nggak bakal ada dari kawan-kawan jahil ini yang merasa puas karna misi bikin-orang-nangisnya berhasil.
Tapi bahkan dengan keyakinan yang kuat sejak awal pagi hari itu pun, berujung ambyar juga di momen terakhir saat berpelukan sebelum masuk untuk check-in. Sungguh padahal aku sudah tahan-tahan sekuat tenaga, namun akhirnya mau nggak mau mengikuti hati dan menyadari "ternyata begini ya rasanya alatul". 
Dulu aku menganggap ini --secara kasar-- hanya sebuah formalitas pamitan dan edisi sedih-sedihan itu hanya part dari 'tradisi' nganter biar 'terasa' berpisahnya. Hingga aku ngerasain sendiri dan dengan berat mengakui bahwa "ini memang momen yang menyedihkan rupanya".


Untuk penutup yang baik, di akhir tulisan ini aku pengen nyampein
terima kasih banyak kepada teman-teman di Mesir yang selama ini sering aku repotkan, yang sering menemani bergadang buat saling tukar gosip pikiran, berbagi makanan padahal sama-sama lapar, juga atas kenangan pahit dan indah yang sudah bersama dilewatkan.
Mohon maaf jika banyak salah, sampai berjumpa lagi di Indonesia, semoga tetap saling menyapa --walau jauh tapi kan bisa via sosial media, hey.

Udah itu aja. Walau tulisan ini lebay, ya nggak apa-apalah. 
Toh ini blog siapa. Haha.

Depan Limas
Bandara

Kamis, 02 Januari 2020

Serba-Serbi Wisuda



Sebagai mahasiswa yang jarang upload foto saat belajar --seringnya sih posting screenshot cuitan orang di Twitter-- berfoto & publish suasana wisuda adalah momen yang ditunggu. Setidaknya jadi bukti kalau selama di sini nggak cuma jalan-jalan dan sosmed-an. Lagian mana bisa juga lulus kalo nggak belajar sama sekali (walau suka langganan ngebut di injury time). Ntah deh kalo di Azhar ada yang bisa nyogok kelulusan? Haha keknya nggak ada, nggak pernah denger sama sekali. Paling yang masyhur di sini adalah "nyogok" Yang-di-Atas dengan tawasulan, ziarah makam Waliyullah, juga perbanyak shalawat dan minta didoakan --lewat status sosmed atau japrian broadcast hmm~

Hal lucu pernah terjadi. Saat aku baru pulang dari ibadah haji dua tahun lalu, salah satu teman sempat bertanya apa beneran aku selama sebulan terakhir nggak kelihatan karna pergi ke Mekkah. Sempat bingung sebentar buat mencerna pertanyaannya. Ternyata dia hanya meragukan, soalnya selama sebulan pergi haji dulu aku nggak pernah buat status atau update foto suasana haji. Owalah. Bener-bener "Aku bersosmed maka aku ada". Padahal waktu haji sering sih dokumentasiin kegiatan, cuma lebih ke disimpen pribadi aja. Buat kenangan.

Balik lagi soal wisuda. 
3 Oktober 2019 lalu aku ikut wisuda yang diadain oleh PPMI Mesir. Sempet ragu buat ikut karna --kayak yang aku ceritain di post sebelumnya-- waktu itu masih punya 2 maddah yang butuh remedi. Sedangkan pas tanggal wisuda udah ditentukan, nilai remedial kami belum juga keluar. Yang aku pikirin adalah, kalo aku daftar terus nanti nggak lulus, rasanya bakal males banget setahun ke depan bakal ditanyain rangorang "Belum lulus kok dah wisuda ya". Sedangkan kalo aku nggak daftar wisuda tahun ini dan ternyata lulus, yakali kan sayang banget nggak punya foto kelulusan. 

Akhirnya daftar, dan hal yang dikhawatirkan beneran terjadi. Di hari H pulang wisuda saja teman-teman junior udah sibuk nanya "Abis ini kakak lanjut S2 mana", "Ada rencana pulang alatul belum nih" dll. yang cuma bisa aku jawab "Hehe. Belum tau nih. Masih perlu istikharah dulu" dsbg. Tapi ya sebenernya itu pertanyaan yang wajar, karna mereka juga nggak perlu dan untuk apa juga tau kalo aku belum bener-bener lulus dan masih nyisain dua matkul. Yang diketahui awam kan dengan seseorang-ikut-wisuda berarti ya dianggap sudah lulus, gitu. Dan semenjak hari itu hingga turun nilai aku merasa  sedang membohongi dunia. Bahkan nyeseknya ada teman yang tau aku wisuda dan juga tau masih nyisa dua, terang-terangan ngomong "Halah daftar wisuda, padahal belum lulus juga". Haha sungguh ringan sekali pernyataan tersebut keluar.
Syukurnya ini cuma soal penundaan informasi saja. Aku lulus dan tidak jadi melewati satu tahun ke depan dengan omongan berdengung ala netizen.

Ini dari tadi curhat nggak jelas. Padahal rencana yang mau ditulis bukan soal ini.
Lupakan. Aslinya yang mau diceritain tuh serba-serbi saat proses wisudanya. 


Tempat kita wisuda namanya al-Azhar Conference Center (ACC). Ruangannya luas dan megah. Di sepanjang bagian kursi yang tengah diisi dengan para wisudawan dan kanan-kirinya tempat duduk audience umum. Kita disusun perbaris kursi sesuai dengan taqdir nilai ujian. Yups sesuai yang kalian duga, sebagai mahasiswa yang belum punya nilai saat itu aku dapat kursi 2 baris belakang. Sungguh sangat tidak strategis, karena sudah di belakang, di barisan itupun aku dapat kursi yang di tengah. Fix berada di posisi yang sudah pasti akan sulit dapat angle foto bagus dari tim dokumentasi. Dan terbukti aku nggak punya foto yang pas dalam ruangan itu selain saat maju ke panggung menerima sertifikat. Kesimpulan: kalau mau dapat foto bagus saat wisuda, usahakan tidak manqulain di tingkat 4 kuliah.


Hari itu hari yang lumayan panjang. Dimulai sejak jam 7 pagi yang sudah harus berada di tempat untuk gladi, sampai pasca acara harus "berserah diri" untuk diajak foto sana-sini. Setidaknya dengan teman-teman Kemass Mesir yang punya tradisi setiap tahun harus banget foto bareng di Monumen Anwar Sadat. Beruntung sore itu di sana sudah bisa dipakai untuk berfoto, padahal pagi harinya Monumen Anwar Sadat masih dipakai untuk peringatan "Sittah Oktober" dan dihadiri presiden Mesir. Kami foto-foto di sana dari asar sampai tiba azan maghrib lalu pulang. Entah berapa banyak pose yang diabadikan.


Hal lain dari wisuda, yang bisa dimasukkan dalam kategori "lumayan bikin insecure" itu adalah, bakal ada atau tidaknya teman yang ngasih bunga/hadiah. Toxic-nya, ini sudah menjadi stigma buruk masyarakat (baca: Masisir). Aku sendiri pernah denger langsung ujaran-ujaran yang --menjurus kompetisi-- nggak penting, seperti: banyak-banyakan dapet hadiah. Jadi nggak perlu heran saat ada wisudawan/ti yang sebelum hari H sudah sibuk "promo" atau ngode ke teman dan adik-adik kelasnya buat dateng --dan pastinya beserta hadiah lah, heyy. Lalu di hari H, antar wisudawan/ti yang akhirnya memang dapat banyak hadiah, sibuk maksain untuk nentengin semua hadiah tersebut selama berfoto. Sungguh merepotkan kalo itu cuma buat ajang pamer dan disombongin.

Ini abis nulis ini bakal dibilang julid nggak ya. Bodo lah tapi.

Soalnya gara-gara kebiasaan itu, menjelang wisuda kemarin aku mau nggak mau jadi kepikiran juga. Sebagai lelaki yang nggak populer dan suka mager, jangan kan ngarep buat dapet banyak, bisa jadi malah nggak ada yang bawain. Sebuah kekhawatiran yang nggak berfaedah. Padahal coba kalo nggak ada tradisi gini, yang wisuda nggak perlu insecure, temen yang dateng juga nggak perlu merasa terintimidasi kalo sayang duit  lupa beliin hadiah.

Oh iya, wisuda ini walau yang ngadain temen-temen mahasiswa Indonesia, tapi acaranya dibuka untuk umum. Jadi mahasiswa luar kayak temen Malaysia, Thailand, Nigeria, Afghanistan dll juga boleh gabung, walau cuma beberapa --asal bayar. 

Tapi kalaupun nggak sempet ikut yang ini, dari al-Azhar nanti pun juga bikin acara serupa. Aku ikut dua-duanya. Karna walau sama-sama acara wisuda, ada hal lain yang bikin tertarik untuk ikut dua kali.
Pertama, peserta wisuda yang Azhar ini lebih variatif dari berbagai negara. Nggak cuma didominasi mahasiswa Indonesia doang. Jadi suasana "wisuda luar negeri"nya lebih kerasa.
Dua, seragamnya. Kalo wisuda PPMI tuh kita pakai jubah putih dilapisin kakula hitam khas al-Azhar plus selempang hijau, medali dan peci yang Azhar banget (seperti foto di atas tadi). Lebih gagah sih emang keliatannya, kayak bener-bener dicitrakan sebagai seorang calon duta Azhar (Karna emang seragam itu termasuk starterpack masyayikh kibar yang sering dipakai untuk acara-acara besar). 
Nah di wisuda yang Azhar ini kita pakai pakaian wisuda yang sesuai kayak umumnya: jubah kebesaran dan toga. Toganya itu sih yang bikin serasa wisuda banget. Dari dulu selalu pengen punya foto loncat sambil lempar toga ke atas. Haha. Kalo peci Azhar yang dilempar kan nggak sopan. Dan akhirnya keinginan absurd itu kesampaian juga kemarin.


Pendaftaran wisuda Azhar ini udah dibuka sejak sebulanan lalu. Syaratnya mudah, cuma fotokopi paspor depan dan ijazah sementara. Menjadi lebih menarik karna nggak dipungut biaya sepeserpun. Karna semua udah ditanggung penyelenggara, jiwa yang menggebu saat mendengar kata gratis pun jadi nggak perlu pikir panjang buat langsung daftar. Berkas daftar kemarin nitip pula ke temen yang tinggal di asrama Buuts, kawasan di mana kantor Azhar Parliament berada. Effortless parah.

30 Desember 2019 kemarin acara diselenggarain. Pukul setengah 9 paginya aku berangkat ke ACC make bis lagi-lagi gratis dari Buuts. Katanya acara dimulai jam 9, tapi udah ketebak pasti bakal molor karna banyak kursi peserta yang masih kosong dan tamu undangan di kursi depan belum datang. Sekitar pukul 11 akhirnya berlangsung juga hingga menjelang asar.
Sebagai seorang lulusan berpredikat mahasiswa biasa, aku dapat nomor urut kursi 158. Cuma entah kenapa nomor urut 110 ke atas tempatnya di kursi bagian tengah depan, dan urutan 1-100 malah ada di sebelah kanan terus ke belakang. Beruntungnya lagi, karna barisan depan masih saja kosong saat acara sudah hendak dimulai, kami pun disuruh maju. Hingga akhirnya aku berada di posisi barisan nomor 2 terdepan dan tepat sekali di bagian tengah, selurus dengan panggung. Sebuah posisi yang kalau di wisuda PPMI kemarin akan diisi dengan mahasiswa-mahasiswa bernilai mumtaz. Tentu enaknya posisi ini adalah dapat melihat panggung lebih jelas dan kemungkinan masuk foto sangat besar. Sempet ngomong ke temen samping "Kek gini ternyata rasanya jadi mahasiswa mumtaz."
Allah memang mengerti hambanya ya~ seolah keluhan wisuda yang lalu dibalasNya sekarang. 

Selesai pembagian sertifikat - foto bareng khirrijin di panggung dan sisa acara selanjutnya tinggal untuk para mutafawwiqin, rasanya keperluan di dalem udah abis. Jadi aku milih udahan ngikut acara dan bareng temen yang lain keluar untuk zuhuran.

Acara wisuda versi parlemen Azhar ini nggak terlalu rame dihadirin junior. Selain publikasinya yang nggak semasif wisuda PPMI, juga karna pelaksanaannya di tahun ini yang molor sampai akhir tahun, mepet masa ujian termin satu. Kalau aku di posisi mereka juga pasti males dateng sih. Mending di kamar buat persiapan imtihan yang tinggal beberapa hari. Teman angkatan yang ikut wisuda pertama pun hanya beberapa saja yang ikut lagi wisuda ini, beberapa bahkan sudah pulang ke Indonesia. Tapi sisi lainnya jadi nggak rempong untuk foto bareng sana-sini, cukup puas berpose di depan gedung acara. Walau sayang sekali nggak bisa lama-lama, karna jubah dan toga --pinjeman panitia-- udah disuruh balikin. Hah. Beginilah kalo gratisan~.

________________
maddah : pelajaran
pulang 'alatul : nggak tinggal sini lagi
taqdir : bentuk nilai
manqulain : sisa 2 pelajaran
Sittah Uktuber :  6 Oktober, Peringatan kemenangan perang terhadap Israel pada tahun '73
masyayikh kibar : Syekh-syekh besar
mumtaz : cumlaude
khirrijin : alumnus
mutafawwiqin : yang berprestasi
imtihan: ujian


Kamis, 05 Desember 2019

Wisuda, Lalu Apa


Dua bulan lalu, tepatnya tanggal 3 Oktober 2019 jadi hari yang rasanya... campur aduk. Momen wisuda yang harusnya disambut suka-cita dan rasa syukur tapi kalo boleh jujur nggak sepenuhnya aku nikmatin. Saat itu sebenarnya aku belum dikatakan telah lulus. Karna nilai remedial ujian tingkat akhir belum keluar hingga sebulan ke depan. Tapi berhubung panitia penyelenggara wisuda ini adalah PPMI (Persatuan Pelajar & Mahasiswa Indonesia) sendiri, enaknya masih dibolehkan ikut.

Banyak temen yang hadir ngeramein, ataupun temen-temen di Indonesia juga ngucapin selamat dll, tapi hari itu masih terasa hambar. Pikiranku berkecamuk. "Nih kalo beneran lulus, gimana deh". Pikiran yang masih terngiang sampe sekarang.

Cerita mundur sedikit, jauh hari sebelum ujian remedial dilaksanain aku udah gamang duluan. Dari dua pelajaran yang harus diuji ulang, apa yang harus dilakuin? Nanti kalo lulus dua-duanya berarti jalan panjang nan berkelok akan terbentang. Hal-hal yang pernah kutulis di tulisan sebelumnya (di sini) akan terjadi. Persoalan nikah, lanjut S2, kerja dll akan menghantui. Sedangkan kalo nggak lulus, tentu aku masih dapat waktu lenggang satu tahun lagi untuk bersiap-siap, kan? Keknya yang ini bakal lebih enak.

Lalu yang mana?
H-2 ujian remedial masih belum buka buku. Saat itu yang mantap kupilih adalah mungkin belum lulus lebih dulu bakal lebih baik (baca: lebih santai?). Banyak alasan-alasan yang kubangun: Biar bisa lebih lama di Mesir lah, trus karna setahun ke depan cuma bawa 2 matkul bakal banyak waktu untuk talaqqi, kursus ini-itu dll lah.
H-1, kepikiran lagi. Mungkin bakal malu-maluin kalo pas jawab ujian isi kertasnya kosong karna nggak belajar sama sekali. Jadilah coba kuulang-ulang sedikit, dengan buka bookmarks ujian sebelumnya.
Berapa jam menjelang masuk ruang ujian, kembali tersentak oleh "apa yang aku lakuin ini bener ya. Apa nanti akan disesali?"

Di luar perkiraan, ternyata sebagian soal yang keluar tepat di halaman yang sempat dibaca. Bentuk soalnya pun bisa dikatakan serupa. Ruangan ujian mendadak jadi lebih dingin. Apa ini pertanda?
Jadi gimana, isi sesuai yang dipelajari atau tetap abaikan aja?

Singkat cerita, 17 November cek nilai: Lulus.
Sebuah plot twist yang kubuat sendiri.
Hal kilat yang kusadari saat di ruangan itu adalah, diri yang terlalu takut melihat masa depan lalu mencari alasan-alasan pendukung agar tak perlu bersusah dulu sekarang. Padahal rasa takut itu akan selalu ada  di benak dan rintangan masa depan pun tetap menunggu untuk dilalui, sedangkan yang kurencanakan saat itu hanya menundanya terjadi. 
Tak ada yang berubah kalo aku sendiri pun nggak beranikan diri ngambil sikap untuk memilih maju, mau hadapi kenyataan dan berlapang dada buat nerima kemungkinan-kemungkinan lain nantinya.

Dan.. begini lah aku sekarang. Menghitung bulan atau minggu, bersiap untuk melompat ke fase lain kehidupan. Entah lanjut S2 di sini atau di mana, entah pulang lalu apa, atau menikah dengan siapa?
Belum tahu pastinya. Tapi yang kutahu penting adalah, menyiapkan diri untuk itu semua, karna apapun tentu bisa saja terjadi, ya kan.

Terakhir, mungkin sedikit kata lagi bagi teman pembaca yang saat ini belum lulus sarjana, biar seenggaknya tulisan ini ada menyisakan tanda tanya yang baik. 
Satu tahun terakhir kuliah itu memang sering jadi drama tersendiri di otak. Tapi jangan seperti aku yang hingga detik terakhir pun masih bingung mau ngapain. Kalian bisa susun planning A, B dan C  dari sekarang, buat skala prioritas kerjaan, lalu persiapkan diri. Bukan lagi cuma jalani hari kek biasa seperti tahun-tahun sebelumnya dan kemudian saat lulus baru sibuk "abis wisuda, lalu apa?"

 
biz.